Menurut guru al-Habib Ubaidillah bin Idrus al-Habsy, mufti Tarim, habib Ali al-Masyhur pernah berpesan,Â
"Hormati dan cintai keturunan Rasulullah shallahu'alaihiwasallam bukan karena kealimannya, bukan karena perilakunya, tapi karena darah Rasulullah shallahu'alaihiwasallam yang mengalir dalam diri mereka."Â
Nasihat ini penting, sebab termasuk attitude, cara beretika yang baik kepada Rasulullah shallahu'alaihiwasallam juga adalah dengan menghormati keturunan beliau. Bagaimanapun juga. Siapapun juga. Asalkan itu masih keturunan nabi, harus kita hormati dan muliakan.Â
Itu selaras dengan sebuah nasihat yang pernah saya kutip dalam tulisan sebelumnya,Â
Kalau kau mencintai habaib karena ilmunya, maka bisa jadi kau akan membenci habaib yang tidak berilmu.Â
Kalau kau mencintai habaib karena ada kesamaan dalam organisasi, maka bisa jadi kau akan membenci habaib yang tidak sejalan dengan organisasimu.Â
Kalau kau mencintai habaib karena perbuatan baiknya, maka bisa jadi kau akan membenci habaib yang tidak baik perbuatannya.Â
Namun kalau kau mencintai habaib karena Rasulullah, karena Allah dan karena dalam tubuhnya mengalir darah Rasulullah, maka tidak akan ada satupun Habaib yang akan kau benci bagaimanapun kenyataannya.
Itulah cinta sejati.Â
***Â
Tapi ada juga penjelasan dari KHR. Ach. Azaim Ibrahimy tentang bagaimana bersikap terhadap keturunan nabi. Menurut beliau, habaib itu tidaklah ma'shum (selalu terhindar dari perbuatan dosa) seperti nabi Muhammad shallahu'alaihiwasallam. Artinya dalam kehidupan sehari-hari, tidak menutup kemungkinan ada habaib yang juga pernah melakukan kesalahan.Â
Kita perlu mengikuti tindakan dan ucapan habaib yang benar. Tapi bila ternyata mungkin kok ada habaib yang jelas-jelas melakukan suatu tindakan yang salah, tidak harus diikuti. Tapi menghormati itu tetap harus dilakukan.Â
Kita perlu membedakan, antara kewajiban menghormati, mengikuti, dan mentaati. Menghormati habaib itu suatu keharusan, bagaimanapun juga. Tapi bukan berarti setiap habaib juga harus diikuti perbuatan dan tindakannya.Â
Seperti halnya kita menghormati orang tua itu adalah kewajiban. Bagaimanapun juga orang tua kita harus kita muliakan. Tapi bukan berarti setiap perintah orang tua harus diikuti dan dijalankan, jika jelas-jelas itu perintah yang menjerumus dalam perbuatan dosa.Â
Dalam kehidupan sehari-hari, andaikan kok saya bertemu dengan seorang habaib yang kontroversial, maka saya tetap akan memuliakan beliau. Mempersilahkan beliau berkunjung dan mampir ke rumah saya, mencium tangannya, dan menjamu dengan jamuan makanan sebaik-baiknya.Â
Tapi bukan berarti saya akan mengikuti hal kontroversial yang dilakukan oleh beliau. Menjadi fanatik buta. Sebab kita perlu memilah dan memilih, mana yang benar dan mana yang salah. Yang benar perlu diikuti, dan yang salah tidak harus. Tapi itu tidak lantas menghilangkan kewajiban untuk memuliakan beliau.Â
Beda pendapat, beda ormas, beda prinsip itu sah-sah saja. Wajar saja ada perbedaan. Tapi bukan lantas perbedaan itu mendatangkan kebencian dan ketidaksukaan, yang berujung pada cacian dan makian.Â
Perbedaan pendapat dan prinsip biarlah menjadi perbedaan, tapi menghormati dan memuliakan habaib itu sampai kapanpun juga dalam kondisi bagaimanapun juga tetap harus kita lakukan.Â
Keturunan Rasulullah shallahu'alaihiwasallam diibaratkan seperti air, dimanapun beliau-beliau berada, maka akan memberikan manfaat.Â
Al Imam Syafi'i dikatakan pernah menggubah sebuah syair.Â
#
# Â
"Ketika aku melihat pemikiran manusia telah bermuara di samudera kesesatan dan kebodohan, aku menaiki perahu keselamatan atas nama Allah. Perahu Keselamatan itu adalah (mencintai dan mengikuti) keluarga nabi shallahu'alaihiwasallam sang penutup para rasul".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H