Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Semua Gara-gara Rajin Baca Portal Berita

17 November 2020   06:18 Diperbarui: 17 November 2020   19:08 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu salah satu aplikasi wajib yang saya miliki adalah google berita. Aplikasinya praktis, bisa memuat beragam berita dari portal-portal unggulan penyedia informasi, macam kompas atau tribun. Pun bisa disesuaikan dengan minat, seperti berita teknologi atau kesehatan.

Mungkin menarik saat bisa baca-baca tulisan informatif tentang sains atau perkembangan dinamika dunia digital. Atau tahu masalah dan tips kesehatan yang kadang baru kita ketahui. "Lima fakta tentang es cendol, nomor enam bisa bikin kamu terkejut". Yah, begitulah khas judul-judul klik bait yang selalu bikin penasaran.

Tapi lama-lama jadi tertarik membaca berita yang menjadi tajuk utama. Yang lagi hangat-hangatnya diomongin orang-orang. Istilah kerennya baca headline. Rasanya jadi tidak ketinggalan informasi dan tahu perkembangan Indonesia sampai masalah subtil yang sebenarnya gak penting-penting amat.

Lama-lama berita menjadi candu. Halaman pertama koran yang selalu menarik, dan kejadian yang tak habis-habisnya. Ramai minggu ini orang membicarakan tema A, tapi dengan cepatnya minggu depannya sudah ganti tema B. Lalu tema C, tema D, dan seterusnya.

Akhirnya saya mulai berpikir isu-isu yang hangat-hangat tahi ayam ini kalau diikuti tak ada ujungnya. Tahu atau tidak tahu perkembangan situasi pun juga tidak ada bedanya. Saya jadi pernah berkesimpulan kalau baca berita itu percuma. Sia-sia. Buang-buang waktu.

Dulu ketika bertahun-tahun jadi santri dengan akses informasi terbatas pun rasanya juga tak masalah bila ketinggalan "gosip jalanan". Tak mengapa meskipun pagi tanpa koran. 

Masih bisa tidur nyenyak tanpa baca berita. Dari ratusan kolom tulisan berita itu, entah mana yang masih membekas. Mana yang ada manfaatnya untuk kehidupan.

Setidaknya lebih baik membaca artikel tentang bagaimana meramu kopi susu agar rasanya lebih enak. Tulisan seperti itu malah lebih berguna dan berharga bagi saya daripada baca berita Omnibus Law.

Sebelum akhirnya memutuskan menghapus aplikasi Google Berita, dengan kompetensi yang rendah, dan latar belakang yang sama sekali bukan latar belakangnya, telah membuat saya kadang-kadang jadi tergiur untuk berkomentar tentang apa yang diberitakan media. 

Apapun yang lagi hangat itu, rasanya ingin mengomentari. Atau setidaknya memihak yang pro atau kontra. Padahal sebenarnya tidak tahu apa-apa.

Ada masalah pembangunan Jurassic Park Komodo, kemudian baca berita, lalu tak sengaja lihat debat kubu yang membela dan menolak. Karena sedikit-sedikit tadi sudah baca koran online, seolah-olah jadi pahlawan kesiangan dengan muncul sok bijak membela satu pihak. Menyertakan referensi dari secuil apa yang tertulis di portal berita.

Kalau dipikir-pikir lagi, jangankan kesana, lihat pulaunya dari YouTube pun belum pernah. Tahu dampak langsung terhadap ekosistemnya juga tidak. Prosedural pengerjaan proyek juga tidak tahu. Lalu mengerti sebenarnya siapa pihak yang benar? Boro-boro.

Semua yang ditulis ulang di media sosial akhirnya bercampur opini. Kadang juga emosi. Dan bertendensikan referensi dari kolom artikel yang entahlah benar entahlah salah.

Isu apapun juga rata-rata demikian. Kebanyakan setelah membaca berita jadi menelurkan pendapat baru. Yang sebenarnya adalah perspektif pribadi, dan tak sesuai dengan kredensial. Itu bukan wilayah kita. Masalah itu diluar pengetahuan kita.

Apakah saya jadi sangsi sama situs portal macam tribun dan kompas? Tidak juga. Tapi apa yang mereka katakan kadang tidak bisa menggambarkan kenyataan seratus persen. 

Seperti halnya kita melihat gajah dari ekornya saja, atau belalainya saja. Lalu berkesimpulan kalau bentuk gajah itu mirip ular. Apakah dengan begitu informasinya salah? Tidak juga. Informasi yang tidak utuh bukan berarti salah.

Akhirnya tak ada lagi berita yang menarik rasanya. Sebab semua juga akan segera hilang dengan sendirinya. Tenggelam oleh isu lain yang lebih baru. Lalu yang baru itupun juga akan dilupakan juga. Tergerus dengan yang lebih baru. Lalu yang... Ah, sudahlah.

Kecuali jika kompas memberitakan tentang desa saya. Itu baru benar-benar menarik. Sebab sesuatu yang memang saya pahami betul seluk beluknya ya apa yang setiap hari ada didepan saya ini. Akhirnya jika harus beropini pun, saya tidak akan ragu. Karena memang saya tahu.

***

Sekian...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun