Banyak sastrawan hari ini yang meramu karya dengan apik. Lembut mengalir bahasanya. Dan ada sastra klasik yang lebih menekankan simbolisme dalam cerita.
Metafora mungkin tidak begitu penting bagi karya semacam itu, sebab jika ingin menikmati bahasa yang membuai, orang bisa membaca puisi.
Tapi sekarang puisi juga "dibukukan" menjadi novel, atau esai. Orang-orang mulai menggabungkan dua hal itu menjadi satu. Menarik saat dalam sebuah karya, ada kekuatan deskripsi, narasi, sekaligus pembaca seolah-olah sedang membaca puisi.
Dan karena sebuah buku menjadi begitu rumit, akhirnya pembaca jadi kesulitan untuk sekedar memahami apa maksudnya. Sekadar merangkum kembali pemahaman yang sebenarnya sederhana.
Cara berbelit-belit, atau gaya bahasa yang anggun dan menawan itu menawarkan kesenjangan bagi pembaca yang ingin sekedar menikmati cerita.
Dan yang terpenting tentu adalah belajar dari pengalaman pengarangnya. Seorang pencetus ide, dengan buku yang kecil dapat menularkan kesadaran kepada banyak orang. Kesadaran pribadi berkembang menjadi kesadaran publik.
Dari sebuah karya tulis, bisa saja muncul gerakan sebesar revolusi. Yang menumbangkan rezim dan negeri nan digdaya.
Atau mungkin Animal Farm lebih mirip dongeng sebelum tidur. Sebab ceritanya yang cenderung fantasi. Dapat mengantar seseorang dalam mimpi, sebab kembang tidur kadang identik dengan pengalaman yang mustahil.
Namun mengapa novel itu jadi laris mungkin adalah misteri, sebab semua orang butuh tidur. Dan beberapa dari mereka yang insomnia akan senang sekali saat ada yang mendendangkan lullaby. Sampai kantuk itu datang, dan lagu yang sama tanpa bosan telah diulang hingga seribu kali.
Saat kita masih percaya bahwa sebenarnya binatang bisa saling berkomunikasi dengan bahasa yang fasih. Saat ada manusia, mereka diam. Tapi tatkala sang majikan pergi, mereka bisa bergosip sesuka hati.