Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perlukah Mengomersialkan Hidup di Media Sosial?

28 September 2020   05:39 Diperbarui: 30 September 2020   00:58 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi memamerkan kebahagiaan di media sosial. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Saat kita berjalan, kita akan menyadari beberapa hal baru. Banyak sekali sesuatu tak terduga yang muncul dalam pengalaman hidup. Yang tak terpikirkan, atau bahkan yang tak terbayangkan. Tapi kadang ada masanya semua harus berhenti.

Walaupun apa yang kita lakukan pada awalnya sederhana, tapi lama kelamaan emosi yang menuntut ambisi tinggi akan sebuah pencapaian telah menghilangkan bayangan akan tujuan awal. Kita sudah terlena.

Yang sebenarnya hanya ungkapan keluh kesah karena kesepian, yang pada awalnya sekedar tentang cerita-cerita yang terlupakan, yang sejatinya cuma kata hati yang ingin didengar melalui lisan. Waktu menggiring semua itu pergi, menuju keinginan yang lebih dalam. Hari demi hari.

Kondisi yang tak memungkinkan membuat mood menulis hilang sama sekali. Banyak waktu yang sebenarnya terlewatkan begitu saja. Mungkin tidak lagi setiap hari bisa berbagi cerita. Satu minggu sekali saja, atau dua kali.

Jika kita tak memiliki tenggat waktu sama sekali, mungkin kita akan berhenti membaca. Sebab tak ada rasa tanggung jawab untuk berbagi. Rasa malas hanya bisa dikalahkan sesekali dengan deadline.

Tapi sepertinya lebih ingin menikmati membaca dan menemukan hal baru, lebih banyak melihat daripada bercerita. Bukan lagi masalah seberapa banyak, tapi seberapa berkesan dan berarti. Kuantitas tak pernah menjamin kualitas.

Dulu menulis jadi tak menyenangkan sebab telah mengganggu aktivitas membaca. Muncul pikiran bahwa setiap yang dibaca bisakah diolah menjadi tulisan? Akhirnya setiap kali membaca beberapa halaman jadi harus berhenti sebab menemukan hal menarik. Walaupun yang ditulis jadi tak otentik, karena hanya mengulang kalimat yang telah tertera dengan kata-kata yang didaur ulang kembali.

Saat baru membolak-balik beberapa halaman, semua jadi harus tertahan karena ingin menyusun draft. Konsep sederhana sebaris dua baris kata yang mungkin bisa diselesaikan suatu hari nanti. 

Itulah alasan kenapa orang bisa menulis setiap hari. Bahkan dua kali sehari atau tiga kali. Pagi, siang, dan sore. Asalkan dia rajin membaca, dan kepalanya menjelma mesin daur ulang, yang senantiasa terprogram dengan perintah "kira-kira paragraf ini bisa ditulis jadi apa?"

***

Tidak ada istilah "menghilang" hanya karena tak ingin diganggu. Sebab orang tidak selamanya memegang ponsel pintar lima menit sekali. Atau karena memakai modus diam dan handphone tergeletak tak dicek seharian. Atau ketika kita mematikannya saat malam. Siapa yang butuh siapa?

Kita tak harus selalu menekan tombol like atau memaksakan diri berkomentar di sebuah postingan, hanya demi mendapatkan perhatian. Lebih baik saat kita mengenal orang secara pribadi, bukan sebab interaksi tak langsung. Sebab kadang ada saja yang sekedar mampir ke media sosial untuk formalitas dan melempar tawa.

Namun sebenarnya kita tak selalu harus menceritakan apa yang terjadi dalam kehidupan kita ke semua orang. Seperti hari ini pergi kemana, atau swafoto yang kita nilai menawan ini perlu dipamerkan. 

Agar para tetangga tahu kemarin habis liburan dari tempat nun jauh. Saat ponsel kita kehilangan sinyal dan kita jadi mengeluh di internet. Apakah orang akan benar-benar memperhatikan itu semua?

Kecuali kehidupan kita "dijual" dan itu terlihat menarik. Saya tertarik kenapa ada acara keluarga selebritis yang bisa bertahan bertahun-tahun. Kehidupan mereka benar-benar laku dan layak dikomersialkan, tapi apakah kita mencoba meniru hal semacam itu dengan hal-hal kecil semacam menulis "aktivitas sehari-hari" kita di media sosial?

Orang begitu berteriak lantang tentang privasi, namun kadang mengumbar kehidupannya secara luas. Marah saat orang lain memiliki foto dirinya, tapi dengan rajin membagikan foto yang paling menawan ke media sosial. Kalau memang tak boleh dimiliki orang lain, kenapa diunggah ke tempat umum?

Selebihnya tulisan ini hanya opini, yang mungkin beberapa bulan lagi sudah tidak relevan.

Sekian...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun