Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Tentang Film "se7en" dan Apakah Manusia Menghukum Sebab Benci?

11 Agustus 2020   05:15 Diperbarui: 11 Agustus 2020   05:11 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita mungkin terlalu muda untuk mengerti, atau justru terlalu renta untuk mengelak, bahwa segala yang terjadi sebenarnya telah berjalan pada porosnya.

Apakah keangkuhan yang kita saksikan, atau kekacauan yang menyeruak dan terkadang nampak memuakkan, sebenarnya tak benar-benar berguna? Tidak juga ternyata. Semua ada artinya, bahkan tanaman membutuhkan kotoran untuk tumbuh, kotoran yang bagi kita sangat dibenci itu.

Apakah kita percaya pada kata-kata, "Wanting people to listen, you can't just tap them on the shoulder anymore. You have to hit them with a sledgehammer, and then you'll notice you've got their strict attention."

Kita tak bisa lagi mendapatkan perhatian penuh dari seseorang dengan sekedar mengucap kata lirih, kita harus memegang palu godam dan memukulkan itu tepat di bahu mereka. Baru mereka akan menoleh padamu. Apakah manusia sudah sekejam itu? Ataukah hanya kita yang hidup di tempat yang salah.

Apakah harus menjadi orang yang tidak peduli? Ataukah harus menjadi yang terlalu ikut campur. Melihat kekacauan di jalanan kadang bikin jadi lupa diri, bahwa ternyata kita sendiri memiliki rumah yang butuh untuk diperbaiki.
***
[Tentang Film Se7en]

Si pembunuh nampaknya lebih dari sekedar muak menyaksikan sikap apatisme, dan ketidakpedulian. Lalu dia mulai memberikan contoh, dengan hal kecil yang dia yakini akan diteladani kelak oleh orang-orang di kemudian hari. "I'm setting the example. What I've done is going to be puzzled over and studied and followed... forever."

Tidak hanya dalam Islam. Agama apapun mengenal norma. Juga yang (mungkin) dianut oleh si pembunuh berantai dalam film se7en. Apakah dia psikopat penggila Dante Alighieri yang menjadikan "Tujuh Dosa Pokok" atau The Seven Deadly Sins sebagai inspirasi untuk melakukan pekerjaannya? Lalu terobsesi untuk merancang pembunuhan sebagai sebuah mahakarya.

Tujuh dosa itu adalah kerakusan, keserakahan, kemalasan, kemurkaan, kesombongan, nafsu, dan iri hati. Korban-korbannya dibunuh sebab hal itu.

Dante Alighieri tampaknya lebih dari sekedar penyair. Saat dia menulis petualangan fantasi tentang duka dan kebahagiaan. Siksaan dan kenikmatan. Dua sejoli yang tak terpisahkan, mungkin. Divine Comedy bukanlah lelucon, sebab orang dulu tak tertawa oleh komedi, tapi mereka menangis sebab tragedi.

Memahami jalan pikiran si pembunuh, mungkin harus menjadi relijius dan menyukai literatur. Sebab dia tak bisa dikatakan waras lagi dengan pemahamannya yang ambisius untuk menghukum perilaku yang melanggar ketertiban.

Tapi apakah kita perlu berterima kasih kepada si pembunuh? Korban-korbannya dikatakan sudah mencemari dunia. Apakah kita bahagia, bila kejahatan berkurang? Meskipun cara menghilangkan kejahatan itu juga dengan kejahatan. Ataukah kita hanya sekedar benci? Dan ingin melihat sebuah pembalasan.

Apakah kita hanya sekedar tak suka, atau kita benar-benar hendak patuh untuk mengajak orang lain agar jangan lagi berdosa? Apakah setiap kekeliruan perlu mendapat tatapan sinis? Jika itu terjadi, darimana seseorang bisa bercermin. Apakah kita sekedar menutup celah busuk dengan warna pelangi yang indah? Kemudian dengan bangga mengatakan kalau "apa yang aku lakukan tidak salah."

Sejahat-jahatnya manusia bukanlah setan, manusia tetaplah manusia. Tapi manusia juga bukanlah hakim. Jadi kita tak seharusnya mengambil alih peran menjadi seolah paling berhak mengutuk atau memberikan kebahagiaan. Kita manusia sekedar memperjuangkan. Seperti yang Ernest Hemingway pernah bilang, "The world is a fine place and worth fighting for."

Kita tak seharusnya menuntut hasil. Dan jika masih mendambakan dunia yang nyaman tanpa kesalahan, kita bisa saja memilih untuk hidup seorang diri di bulan.

***

Sekian...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun