Jokpin tergila-gila dengan puisi sejak SMA. Tapi baru serius justru setelah jadi mahasiswa, katanya. Dan seperti kebanyakan orang lain yang bikin karya, Jokpin biasa lebih dulu menyiratkan ide dalam catatan kecil.
Sebelum nanti (mungkin) dipilah-pilah kembali, dari inang itu mana yang layak menjadi puisi. Seperti pelukis yang lebih dulu bikin sketsa, tidak langsung tergesa-gesa mengguratkan warna. Dari sini kita belajar, bahwa berkarya itu butuh kesabaran.
Jokpin suka membawa catatan kecil. Jika di tengah melakukan sesuatu, tiba-tiba menemukan hal yang menarik dia akan menuliskan itu. Yang ditulis bisa macam-macam. Kata kunci dan calon judul. Atau konsep dari sebuah bait. Yang bisa dikembangkan nanti bila sudah menemukan suasana yang tepat.
Jika lupa bawa catatan, Jokpin akan menuliskan endapan ide itu dalam ponselnya. Semuanya bisa disaring kembali, mana yang layak untuk dilahirkan menjadi puisi. Atau karya lain mungkin. Trik sederhana itu telah membuatnya menjadi penyair yang produktif.
Tapi tak bisa dibayangkan, kadang juga butuh waktu bertahun-tahun untuk menulis satu buku. Buku Dibawah Kibaran Sarung membutuhkan waktu enam tahun. Sementara ada orang lain yang sanggup menyelesaikan novel dalam waktu kurang dari satu bulan.
Maka menulis puisi butuh suasana hati yang nyaman, juga tempat yang kondusif. Sebab belum tentu baginya setahun bisa menyelesaikan tiga puluh puisi. Apalagi jika itu adalah karya pesanan, yang harus disesuaikan temanya.
***
Joko Pinurbo mengakui, dia banyak belajar dari tiga orang. Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Joko Damono. Maka saat kemarin eyang Sapardi meninggal dunia, Jokpin mungkin begitu kehilangan.
Saat Chairil menulis puisi-puisinya, Chairil belum genap tiga puluh. Dan hingga kini orang-orang yang jauh lebih tua ada yang tak bisa berhenti mengaguminya. Padahal bisa jadi mereka lebih hebat dari Chairil, jika pernah bertemu. Tapi orang kadang menolak untuk tidak rendah hati. "Saya masih belajar", itu saja alasan realistis mereka.
Menurut penilaian Jokpin, ketiga penyair itu punya talenta masing-masing. Puisi-puisi Chairil menggunakan bahasa yang efisien dengan diksi tajam dan kuat. Chairil Anwar bagi Jokpin merupakan orang yang serius dalam meramu kata. Hingga diksi yang dipilih sangat padat.
Sedangkan puisi eyang Sapardi lebih sederhana. Mungkin sekedar terinspirasi dari peristiwa biasa, tapi mampu diolah sehingga menghasilkan karya yang luar biasa. Sedangkan Goenawan Mohamad sangat piawai dalam membuat puisi yang musikal dan merdu.
"Membaca puisi Goenawan itu seperti mendengarkan musik yang mengalun indah." Katanya.