Sikap rendah hatinya itu mungkin menolak kesombongan. Bukankah Iblis nenek moyang setan itu jatuh karena dia membanggakan apa yang jadi miliknya?
Saya tidak mencoba menafsirkan kata-kata kawan saya secara esensial. Sebab mungkin saja saya salah. Jadi saya hanya mengutipnya secara harfiah.
Setiap bahasa memiliki kelebihan (dan jangan lihat kekurangannya). Bahasa Jawa identik dengan sopan santun. Saat bicara dengan yang lebih tua orang akan menggunakan bahasa merendah. Bukankah orang Jawa melakukan dua hal sekaligus saat mereka bicara? Memberikan penghormatan, sekaligus mengutarakan isi hatinya.
Bahasa Inggris punya keistimewaan. Dan lagi-lagi jangan memandang kekurangannya. Sebab bagi aktivis feminisme dan gender, sedikit ketidaksukaan dengan bahasa akan membuat mereka terkadang jadi mempermasalahkan, mengapa kata ganti laki-laki dan perempuan perlu dibedakan.
Dan kawan saya benar tentang tujuan akhir sebuah bahasa. Yang tak sekedar jadi pemersatu. Para pemilik otak polyglot, jago-jago kosa kata sekalipun mungkin akan mengakui, saat ditanya alasan paling bijak seseorang belajar bahasa asing. Yang bukan bahasa ibu mereka.
Susah payah orang menghafal past present, istilah sulit semacam noun, verbal, atau apalah dalam bahasa Inggris sebenarnya agar dia bisa memahami pemikiran yang tersembunyi dalam bahasa tersebut. Bahasa bukan tujuan akhir. Tujuan akhirnya adalah memahami wawasan apa yang terkandung dalam bahasa itu sendiri.
Apalah yang perlu dibanggakan, saat orang menguasai bahasa asing, namun enggan belajar budaya dan pengetahuan bangsa lain?
Akhirnya mungkin jadi sekedar terlihat keren saja. Agar jika berbicara keras-keras di sebuah halte bus lewat telepon, orang lain jadi minder dan mengecap dia berpendidikan. Lebih-lebih jika yang dipelajari adalah bahasa Arab. Kata kawan saya, mungkinkah ada yang sekedar belajar bahasa Arab supaya dikata orang kalau di dunia ini dia bisa berbahasa surga?
***
18 Juli 2020 M.
***