Seseorang curhat di media sosial. Mengatakan tak lagi menikmati apa yang dia baca. Dia mempermasalahkan bahasa yang keliru, tentang saltik dan orang yang tidak mematuhi penggunaan EBI. Typo sudah membuat hobi membaca jadi tak menarik lagi.
Seperti dalam kalimat ini,
"Manajemen RS mengacuhkan tuntutan malapraktek tersebut. Entah kemana lagi pasien harus mengadu. Bisakah Kemenkes merubah aturan, pedoman dan panduan terkait hal ini ?"
Dia bercerita, kalau ada enam kesalahan prosedural penulisan dalam paragraf diatas. Padahal saya hanya bisa menemukan tiga. Ternyata ada enam. Kesalahan semacam itu untuk seorang yang peduli dengan bahasa, akan sungguh sangat mengusik.
Maka kota megapolitan sekelas Jakarta, menurut Goenawan Mohamad, adalah "pameran besar salah tulis".
Saat orang mencetak iklan raksasa dengan biaya mahal. Lewat sebuah reklame orang mempertontonkan kalimat yang keliru. "DI SINI AKAN DIBANGUN ..."
Jadi mana yang benar? Disini, atau di sini?
***
Hal yang mengusik dalam penggunaan bahasa sehari-hari adalah saat orang tak peduli pada ejaan baku. Yang penting menulis dan pokoknya apa yang ada dalam hati bisa tersampaikan. Padahal dunia ini indah saat manusia mematuhi aturan.
Kemudian ada yang menganggap tak begitu penting belajar aturan bahasa ibu. Sudah menjadi makanan sehari-hari, mengapa perlu dikaji? Akhirnya, seperti kata kawan saya, belajar di sekolah pun hanya jadi sekedar formalitas. Mungkin kawan saya menyaksikan sendiri, saat guru bahasa Indonesianya terlihat buru-buru memberikan instruksi kepada muridnya. "Ayo cepat, yang penting diisi."
Mungkinkah spirit mematuhi bahasa Indonesia yang baik dan benar sudah mulai hilang dari bangku sekolah?