Semua sebenarnya seusai dengan apa yang pernah dipesankan oleh imam al-Qarafi dalam kitab beliau.
"Manakala sebuah tradisi berkembang maka ambillah, dan manakala tidak lagi berlaku, maka jangan diberlakukan lagi. Dan janganlah terpaku pada teks-teks yang ada dalam literatur-literatur sepanjang hidupmu. Akan tetapi bila ada seseorang dari luar daerah yang bertanya kepadamu, jangan kamu perlakukan sesuai tradisi daerahmu.Â
Tanyalah lebih dulu tradisinya dan berfatwalah sesuai dengan tradisinya. Bukan tradisimu dan apa yang ada dalam kitab-kitabmu. Inilah yang benar dan nyata. Terpaku pada pendapat-pendapat yang ada dalam kitab-kitab adalah kesalahan dalam beragama serta tidak memahami maksud dan tujuan para ulama Islam serta para generasi terdahulu." (Imam al-Qarafi. Al-Furuq. Halaman 314)
Bermazhab secara manhaji pernah menjadi poin dalam keputusan di Munas Lampung tahun 1992 M. Dan dalam muktamar di Cipasung Tasikmalaya tahun 1994 M, pernah diaplikasikan dalam bentuk Bahsul Masail Diniyyah Maudhu'iyyah.
Beberapa permasalahan bisa kembali dikaji relevansinya sekarang jika menerapkan pola fikih manhaji. Seperti apakah orang yang salat tanpa menemukan penutup aurat juga harus mengulang kembali salatnya? Apakah dalam madzhab imam Syafi'i boleh zakat fitrah dengan uang tunai? Transaksi qiradh dengan uang tunai apakah diperbolehkan untuk konteks Indonesia sekarang? Bagaimana menjawab kontroversi hukum dalam dunia perbankan modern? Dan lain sebagainya.
Wallahu a'lam.
Tulisan ini pernah dimuat di situs aswajamuda.com dengan judul sama.