Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membaca Sebagai Media Diskusi Imajiner dengan Penulis

11 Juli 2020   05:22 Diperbarui: 11 Juli 2020   05:20 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/Persona Suerte

___________

Dari sebuah tulisan, kadang seseorang berusaha menyampaikan (misalnya) sepuluh pesan dan ide pokok. Tapi kadang yang mampu ditangkap pembaca hanya separuh. Atau sepertiga. Atau bahkan tidak ada yang bisa ditangkap sama sekali, kecuali diksi yang sebenarnya bukan ide pokok. Tapi hanya kalimat basa-basi.

Sayang sekali, inilah yang disebut salah cerna. Salah tangkap. Ingin menyampaikan begini, malah pembaca pahamnya begitu.

Mengapa bisa demikian?

Salah satunya, mungkin karena pikiran pembaca dan penulis "tidak menyatu". Mereka berada di dua jalur yang berbeda.

Sebuah bacaan bukanlah sesuatu yang terlalu sakral untuk "dipuja-puja". Sebab sebenarnya bahasa dan tulisan adalah sekedar media pemersatu. Yang sebenarnya harus berdekatan adalah alam pikiran penulis dan pembaca. Tulisan itu umpama simbol yang dipakai untuk menyampaikan ide. Maka seharusnya yang diutamakan adalah mencerna ide tersebut. Bukan hanya terus menerus terpaku pada "simbol" tadi.

Bagaimana caranya? Jadilah pembaca yang baik. Seolah-olah sedang berdiskusi dengan penulisnya secara langsung.

Tapi tentu saja butuh proses dan waktu. Maka seperti halnya menulis, bakat membaca juga perlu untuk diasah. Dan membaca novel tentunya gak sama caranya dengan membaca buku yang berisi pemikiran.

Disinilah sangat penting adanya seorang guru. Andaikan tidak bisa membuat diri (meski dalam tahap belajar) "menyatukan" alam pikiran dengan penulis, setidaknya ada seseorang yang bisa menjembatani menuju proses itu.

***

Ada pembaca aktif, ada juga pembaca yang cenderung pasif. Maksudnya bukan "benar-benar pasif". Sebab pikiran pastinya bergerak untuk mencerna apa yang tertera dalam tulisan. Hanya istilah saja, untuk memudahkan penjelasan (seperti kata Mortimer J. Adler). Untuk membedakan mana pembaca yang menelan mentah-mentah semua informasi, dan mana yang mencerna lebih dulu, sebelum nantinya informasi baru dari sebuah tulisan akan diapakan. Dikritik? Diabaikan? Atau diterima dan disetujui...

Saat bisa benar-benar menjadi pembaca aktif, seseorang mungkin bisa menuntut lebih banyak dari pada sekedar pemahaman tekstual. Diharapkan, mungkin bisa menjangkau banyak wacana kontekstual dalam sebuah teks. Akhirnya, dari sebuah paragraf yang terbatas, muncul banyak kemungkinan mencapai pemahaman "tanpa batas".

Bukankah sebaiknya pikiran tidak dibatasi oleh ruang yang kelihatan sempit dari garis demarkasi sebuah diskusi atau buku? Saat membaca, logika dilatih untuk bisa menjadi sedikit "liar", bahkan liberal, dengan berpetualang kemana-mana. Menganalisis dan menganalogikan satu bacaan dengan temuan tulisan lain sebelumnya.

Sebab demikian hakikat sebuah informasi. Bukan sekumpulan data. Tapi rangkaian pemahaman yang suatu saat diharapkan bisa membentuk kebijaksanaan.

"Membaca dan mendengarkan dianggap identik dengan menerima komunikasi dari seseorang yang secara aktif memberikan atau mengirimkan komunikasi.

Yang salah dalam hal ini adalah anggapan bahwa menerima komunikasi sama dengan menerima sebuah pukulan atau sebuah warisan atau sebuah keputusan pengadilan. Sebaliknya, si pembaca atau pendengar lebih mirip dengan seorang penangkap bola (catcher) dalam permainan bisbol." (Mortimer J. Adler)

Artinya, untuk beberapa kondisi, lebih baik tidak memposisikan diri sebagai seolah orang yang hanya mendengar dan siap menerima semua informasi. Tapi sebisa mungkin, membuat sebuah ruang imajiner, bahwa seolah-olah saya dan penulis buku yang sedang saya baca sedang ada dalam sebuah ruang diskusi.

Agar bisa benar-benar terjalin sebuah "komunikasi" antara penulis dan pembaca. Bukan sekedar seperti pidato menjemukan, yang jika sudah selesai, penonton disuruh bertepuk tangan.

***

Menjadi penjaga gawang dalam permainan sepak bola, sebisa mungkin jangan hanya menangkap tendangan lawan. Tapi juga bisa menangkis. Dan mengembalikan dengan porsi yang seimbang. Itulah perumpamaan pembaca yang baik menurut saya...

Yang seharusnya menjadi objek pasif adalah kenyataan sebuah informasi itu sendiri. Ini bukan majas. Sebab pembawa informasi itu, dalam sebuah kasus mungkin saja salah menangkap dan menyampaikan bentuk sebuah wacana dan gagasan. Penulis buku juga adalah seorang moderator antara ide dan pembaca. Yang bisa keliru juga dalam menyampaikan pesan-pesan.

Maksud terbesar penulis agar ide bisa tersampaikan kepada pembaca harus dicapai dengan kerja sama. Penulis menyampaikan tulisan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, kemudian pembaca secara aktif menangkap maksud sang penulis, lalu mencoba berkontribusi dengan memberikan masukan lewat pandangan kritis. Inilah tukar wawasan yang baik dalam seni membaca dan menulis, sesuai yang saya pahami.

***

Akhirnya, adakalanya membaca untuk sekedar menambah wawasan dan pengetahuan. Tapi ada baiknya membaca itu dalam rangka memahami kehidupan. Merangkum banyak informasi, merajutnya menjadi renda-renda yang benar-benar bisa bermanfaat untuk menapak dan melihat kenyataan.

Jadi bukan dalam rangka mengingat lebih banyak. Atau sekedar menambah hafalan. Tapi sebisa mungkin itu semuanya dirangkai menjadi sebuah wisdom.

Lebih dari semua itu, sudah tidak sepantasnya terus menjadi anak kecil yang menyukai tantangan. Orang dewasa lebih berpikir untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, alih-alih cuma sekedar menantang.

***

Sekian...

***

25 Juni 2020 M.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun