Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Proses Belajar dari Suka Banyak Bicara Menjadi Tenang dan Pendiam

9 Juli 2020   16:14 Diperbarui: 9 Juli 2020   16:19 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.pinterest.com/onlyme111/

Dengan hanya tahu saja biasanya belumlah akan cukup untuk mengubah seseorang menjadi apa yang seharusnya. Tapi butuh komponen lain. Sebab ilmu yang sejati akan berkesinambungan dan saling menyatu antara satu dengan yang lain. Saling berhubungan. Menghubungkan itu, jangan harap cukup dengan cuma kuliah bertahun-tahun saja.

Tapi sebisa mungkin, belajar dari apapun juga. Gunakan mata untuk melihat dan membaca, telinga untuk mendengar, mulut untuk berdiskusi dan bertukar pengalaman, pikiran untuk mengoreksi kesalahan, kaki untuk melangkah melihat dunia yang sesungguhnya.

Gunakan seluruh tubuh sebagai alat dan media untuk belajar. Bukan hanya mengandalkan mata untuk membaca dan telinga untuk mendengar.

***

Menilai diri lebih hebat dari kenyataan. Mengapa bisa?

Yah, menurut saya sih penjelasannya sederhana. Karena memang belum "melihat kenyataan" yang sesungguhnya. Yang dilihat baru diri sendiri. Dan standar yang dipakai juga adalah standar diri sendiri. Bukan standar umum. Ibarat burung yang belum keluar dari sangkarnya.

Bagaimana agar bisa melihat dan memahami standar umum?

Cari pengalaman sebanyak mungkin. Gabungkan wawasan yang sudah dimiliki dengan pengalaman. Sudah sejauh apa jika dibenturkan dengan ujian kehidupan yang sesungguhnya? Semakin banyak mengetahui kehidupan sesungguhnya, akan makin sadar dan membuka mata.

Wawasan makin bertambah, namun standarnya bukan lagi standar diri sendiri, tapi sudah standar umum. Lalu muncul kesimpulan, "dibandingkan dengan orang lain, saya belum apa-apa. Maka saya gak pantes bicara begitu atau begini, meskipun bisa jadi saya tahu dan mengerti."

Ibarat baru bertemu seseorang, kadang sudah berani memberikan penilaian menyeluruh hanya karena melihat satu atau dua perilaku. Sebenarnya itu terlalu terburu-buru. Berkesimpulan orang itu begitu atau begini padahal baru kenalan satu hari. Itu juga yang kadang terjadi pada diri sendiri. Tergesa-gesa menilai diri sendiri sebelum benar-benar teruji.

Saat sudah memiliki banyak pengalaman, maka pengalaman akan mengajarkan kepada pengetahuan. Jadi, sebelum benar-benar menyampaikan sesuatu, akan ada kontrol perilaku, "apa pentingnya saya menyampaikan ini?" "Sudahkah benar-benar saya memahami itu?" "Jika saya berkata begitu apa yang mungkin akan terjadi? Konsekuensinya apa?" Dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun