Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Harus Jadi Presiden untuk Melakukan Perubahan

1 Juli 2020   05:30 Diperbarui: 1 Juli 2020   05:35 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: zazzle.es

MELAKUKAN SESUATU

Seseorang tentunya tidak harus memaksakan diri untuk jadi presiden, jika sekedar ingin mengubah dunia. Sebab dengan tangannya sendiri, manusia bisa melakukan sesuatu. Seperti yang Steve Jobs pernah bilang, "The ones who are crazy enough to think that they can change the world, are the ones who do."

Saya gak mengatakan kalau Jobs sedikit mengutip Jacque Fresco dalam kalimatnya, "If you think we can't change the world, It just means you're not one of those that will."

Adalah fotografer H. S. "Newsreel" Wong, dikenal sebagai Wong Hai-Sheng atau Wang Xiaoting dari Hearst Corporation, yang menggugah kesadaran orang-orang barat dengan tangannya. Meskipun dia bukan Roosevelt.

Fotonya menjadi demikian terkenal karena dilihat berjuta-juta orang. Berpuluh juta, mungkin hingga hari ini sudah jadi beratus juta orang.

Dia mendokumentasikan foto seorang bayi yang menangis dengan tragis. Di sebuah stasiun kereta yang habis. Hancur kena bom, hingga tak cukup kata-kata puitis, atau apapun, untuk menjadikan momentum itu demikian dramatis. Kenyataannya memang demikian, di tangan Wang Xiaoting sisa-sisa pertempuran Shanghai pada perang dunia kedua oleh Jepang sungguh membuat hati miris...

Dia menamakan foto itu Sabtu Berdarah. Saturday Blood.

Tak perlu bukti empiris. Karena apapun yang terjadi, masyarakat tetap memilih "menggugat" Jepang. Meskipun Jepang mengatakan foto itu hanya didramatisir. Terlepas dari kenyataan, saya gak berhak menjustifikasi. Sebab saya tak berada disana (dan memang tak berharap disana) waktu itu.

Adalah aksi kemanusiaan yang diabadikan dengan kamera. Meskipun entah akhirnya fotografer membantu korban atau tidak, seperti dalam foto Starving Child and Vulture, karya Kevin Carter. Yang kita tahu, Carter akhirnya malah bunuh diri setelah fotonya menjadi demikian terkenal.

Mungkin Carter menyesal. Mungkin dia dihantui perasaan bersalah, sebab seharusnya bukan tangannya yang refleks mengambil kamera, tapi seharusnya tangannya membantu anak kecil dalam foto itu berdiri (atau setidaknya mengusir burung itu).

Tapi lagi-lagi saya gak berhak menilai.

Yah, memang tak harus menjadi presiden kalau hanya sekedar ingin melakukan sesuatu. Sebab hal semacam fotografi saja sudah bisa mencitrakan seni, harapan, kebahagiaan, kesedihan, atau apapun itu. Yang diwariskan turun temurun, kepada siapapun yang masih memiliki mata dan hati nurani. Selama hitam dan putihnya masih bisa dibedakan.

Kita tahu, seperti apa kisah Thich Quang Duc. Biksu yang memprotes perang Vietnam dengan caranya sendiri. Yang menggetarkan dan menyentuh masyarakat. Malcolm Browne mendokumentasikan itu, menjadikannya sebagai salah satu foto paling berpengaruh sepanjang masa.

Berpengaruh bukan dalam arti yang sederhana menurut penafsiran saya. Tapi bahkan gerakan vegetarian saja bisa menyelamatkan sedikit banyak populasi satwa. Agar manusia dan binatang bisa akur dan tak saling memangsa.

Seperti juga New York Times dan The Washington Post (kita bisa lihat dalam salah satu film Spielberg), memprotes perang Vietnam dengan cara mereka masing-masing. Dan itu sungguh efektif, seolah-olah Richard Nixon sendiri juga orang yang gagal menghentikan tragedi berdarah tersebut. Meskipun dia bisa mengatakan "cease fire" dari gedung putih seperti Eisenhower bisa saja mengatakan itu saat Operation Overload di Normandia.

Maka seseorang bisa melakukan sesuatu. Jika saja dia mau melakukan sesuatu yang berguna, meskipun hanya bagian kecil dari setitik semesta yang seakan tak mengenal dimana ujung lubang hitam. Hanya karena memang belum ditemukan. Dan gak ada manusia waras yang mau kesana.

Tapi jauh sebelum itu, sebaiknya seseorang merenungkan dulu kata-kata Maulana Jalaluddin Rumi. "Yesterday I was clever, so I wanted to change the world. Today I am wise, so I am changing myself."

Sebesar apapun keinginan itu, semua harus dimulai dari diri sendiri...

***

Sekian

***

29 Juni 2020 M.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun