Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membedakan antara Open Minded dan Close Minded

30 Juni 2020   05:30 Diperbarui: 30 Juni 2020   05:48 5074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tapi tidak lantas dengan mengikuti atau mengkaji pendapat orang yang berpaham berbeda, berprinsip berbeda, lantas orang tersebut digolongkan sebagai bagian dari mereka.

Bukankah dengan membaca banyak buku-buku filsafat, tidak serta-merta orang disebut sebagai filosof? Apakah dengan membaca buku-buku orang Syi'ah seseorang bisa dikatakan keluar dari ahlussunah? Tentunya tidak sesederhana itu. Bahkan jika saya membaca ribuan buku kedokteran, saya tetaplah bukan disebut sebagai seorang dokter. Dengan saya khatam baca ratusan kitab keagamaan sekalipun, belum pantas saya disebut ulama.

Open minded hanya sekedar membuka pikiran, menurut saya. Kita yakini bahwa nasihat itu datangnya bisa dari siapa saja. Bukan hanya dari cerita dalam novel Victor Hugo atau Paulo Coelho saja, tapi bahkan dari buku Mein Kampf.

Tapi tentunya seseorang harus bisa menyaring kembali. Sebab meskipun kebenaran bisa datang dari siapapun, tidak semuanya bisa diterima. Tidak semuanya bisa relevan untuk diterapkan.

Adolf Hitler pernah benar, juga pernah salah. Sigmund Freud, meskipun teorinya menarik, tapi ideologi yang dianut olehnya tidak sepatutnya dipelajari juga. Bahkan dari seorang Richard Dawkins atau Nietszche juga bisa datang kebenaran.

Terserah mau menolak (dan sepatutnya memang tidak setuju) buku Salman Rushdie yang itu. Tapi tulisan-tulisannya yang lain kadang juga gak sepenuhnya salah.

Open minded bukan berarti menutup kemungkinan kalau ada pandangan yang bisa keliru juga dari seseorang. Bukan toleransi yang kebablasan dengan menganggap semua agama itu sama misalnya.

Jadi, sejauh yang saya anut, open minded bukan berarti liberal atau bahkan radikal. Open minded adalah terbuka mau menerima kritik dan kebenaran dari siapapun. Dengan masih mempertimbangkan kenyataan bahwa seseorang juga harus mawas diri dan menyaring kembali setiap masukan.

Orang yang berpikir open minded tetap memiliki prinsip dan keberpihakan. Namun tidak memungkiri untuk selalu menerima wawasan baru dari berbagai sudut pandang.

Dalam wacana keislaman misalnya, sebisa mungkin tetap berada pada jalur Islam moderat. Alih-alih gerakan yang mengajak kepada Islam konservatif atau Islam liberal. Meskipun tidak sepenuhnya menolak masukan dari kedua gerakan tersebut. Bahasanya adalah bukan menerima sepenuhnya, tapi memperhatikan dan mempertimbangkan. Dan akhirnya menyaring kembali.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun