T.S. Eliot konon pernah mengatakan, "Kesusastraan diukur dengan kriteria estetis, sedang kebesaran karya sastra diukur dengan kriteria di luar estetika"
Memang daya seni yang sesungguhnya, juga menurut Rendra, tidak terpaku pada ide dan peristiwa besar. Katakanlah Baghavadgitha atau epos Mahabharata. Tapi justru kesederhanaan karya dan ide akan menemukan kebesaran tersendiri dalam nilai sebuah sastra.
Ingatlah bahwa masyarakat kadang lebih suka hal-hal sederhana. Bahkan seperti cerpen dan novel Ahmad Tohari.
Kesederhanaan itulah yang banyak terjadi dan ada dimana-mana. Alih-alih peristiwa bersejarah seperti perang dunia kedua. Menarik, tapi kadang tak menyentuh hati. Karena bukan peristiwa sehari-hari. Jadi agak susah untuk dihayati.
Bukan hal yang glamor dan mewah. Tapi sesuatu yang menyentuh perasaan, seperti fenomena kecil yang membuat seseorang meneteskan air mata. Pedagang kaki lima yang digusur lapaknya. Atau pengamen jalanan yang tidur dibawah lampu merah. Tak ada yang didramatisir, sebab tiap hari seolah masyarakat melihat kejadian itu secara episode demi episodenya.
Seniman tak perlu mempersulit diri dengan menjelas-jelaskan. Sebab dengan diksi yang sekedarnya, perasaan sudah seperti menyatu.
"Sebab jembatan seniman dengan khalayak ramai hanyalah kekuatan 'bentuk seni'. Meskipun 'isi'-nya hebat, tetapi kalau 'bentuk seni'-nya lemah, tidak akan menarik khalayak ramai. Ibarat orang gagap yang punya gagasan bagus, tetapi tidak mampu menyampaikannya." (W. S. Rendra)
***
Sekian...
***
26 Juni 2020 M.