"Ternyata 'bentuk seni' itu tidak mutlak dan dogmatis. Melainkan selalu dinamis dan berkembang. Sebagai seniman, saya mempunyai pengalaman melakoni dan menghayati perkembangan 'bentuk seni' yang beragam.
Sebagai seniman, saya mempunyai disiplin untuk tidak mengabdi pada 'bentuk seni' tertentu. Melainkan saya harus menguasai daya kekuatan seni yang beragam yang mampu melayani kebutuhan dinamisme isi rohani dan pikiran saya."
Puisi misalnya, siapa yang tak mengenal Chairil Anwar. Dan angkatan empat puluh lima? Puisi-puisi Chairil menyisipkan kalimat yang mengobarkan semangat, seperti "Bagimu negeri menyediakan api. Punah di atas menghamba, binasa di atas ditindas. Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai, jika hidup harus merasai."
Namun sekarang, bahkan orang bebas bersajak. Meskipun dengan kalimat singkat seperti dalam Puisi Sutardji Calzoum Bachri, yang berjudul Luka. Atau Malam Lebaran karya Sitor Situmorang. Yang lagi-lagi juga tak pernah saya mengerti maksudnya. Hanya bisa saya nikmati...
Seperti kata mas Goenawan Mohamad, "Kita menikmati pagi, (dan puisi), ketika kita tak mencoba mengerti artinya."
Meskipun kita tentunya tahu, bahwa seni dan karya tidak serta merta akan lahir tanpa sebab. Pasti ada alasannya. Alasan kenapa.
Mengapa Pramoedya Ananta Toer menulis tetralogi Buru. Atau mengapa seorang Ayu Utami menulis novel Bilangan Fu. Bukankah ada alasan jelas mengapa W. S. Rendra dijuluki si Burung Merak?
Tapi kadang itulah misteri. Sesuatu yang jadi urusan pembuat seni. Penikmat seni sekedar menikmati.
Karena situasi tertentu jugalah Rendra menulis puisi-puisi seperti Masmur Mawar.
"Peristiwa pernikahan dan jatuh cinta yang
mendorong saya untuk lebih menyadari peristiwa mati dan hidup dalam alam. Ya, keterbatasan, kefanaan, dan daya hidup menjadi pusat penghayatan saya. Dan sejajar dengan itu, saya berusaha berdialog dengan yang Abadi. Keterbatasan dan kefanaan saya
mencoba mengerti dan meraba yang Abadi.
Di dalam proses itu, saya merasakan anugerah daya hidup yang diberikan oleh yang Abadi kepada keterbatasan dan kefanaan saya. Memang, setiap manusia diberi anugerah daya hidup dan daya mati. Dan daya hiduplah yang bisa memberi makna positif kepada keterbatasan dan kefanaan manusia." (W. S. Rendra)