Jika masih ada yang mempertentangkan pertemuan Islam dan budaya lokal, maka lihatlah analogi pak Ahmad Tohari tentang kurma dan kelapa.
Mengapa kurma tak mau berbuah di tanah Jawa, dan kenapa kelapa juga enggan hidup di Arab sana?
Islam tidak pernah mempermasalahkan arsitektur, tidak menggugat wayang, tidak mengecam tradisi selamatan tiga hari atau tujuh hari (yang selanjutnya "disesuaikan" menjadi tahlilan).
Namun pohon kurma mempermasalahkan kultur tanah dan iklim tropis Indonesia. Sehingga disini, kurma akhirnya menjadi "tamu", dan tidak bisa "menyatu". Tidak bisa tumbuh subur seperti kelapa.
Andaikan saja kita tinggal di suatu tempat, kemudian disana terus menerus menggugat masyarakat dan tradisi, bukan tidak mungkin akhirnya dengan sendirinya kita yang akan "terlempar" karena tak mampu beradaptasi.
Maka memaklumi perbedaan dan memahami lingkungan itu penting... Agar dimanapun kita bisa hidup, tanpa harus menjadi "tamu". Dimanapun kita bisa diterima, dan segera dapat "menyatu".
Wallahu a'lam...
***
8 Juni 2020 M.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H