Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bagaimana Seharusnya Kita Menyikapi Kritik dan Pujian?

23 Mei 2020   04:44 Diperbarui: 23 Mei 2020   04:45 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau memang karyanya jelek dan gagal ya harus tahu diri dan mau belajar. Agar ke depan gak bikin karya gagal semacam itu lagi. Sebab yang mengoreksi karya itu bukan orang sembarangan. Sudah berkompeten dan membidangi. Dosen, kritikus seni, dan orang-orang profesional lain.

Jangan hanya mau bela diri dan pencitraan. Biar selalu kelihatan sempurna dan benar. Menanggapi semua jawaban.

***

Kita harus belajar untuk menghadapi setiap kritik dan pujian dengan lebih dewasa. Gak perlu bangga karena dipuji. Sebab yang memuji juga bukan ahli dalam bidang terkait. Hanya orang biasa yang kagum. Jangan pupus semangat karena dihujat. Sebab yang menghujat kadang hanya asal bicara.

Siapa yang mengkritisi, siapa yang menghujat di media sosial, di forum, atau di dunia nyata sekalipun, cukup kadang disikapi dengan senyuman hangat. Ucapkan terima kasih sudah peduli.

Saya gak mengajari untuk bersikap pasif. Tapi sastrawan besar seperti Eka Kurniawan, Seno Gumira Ajidarma, Djenar Maesa Ayu, atau siapalah katanya punya kode etik. Saat buku mereka dikritik di Goodreads, haram hukumnya bagi mereka untuk membantah lewat kolom komentar.

Juga lihat akhlak mereka di media sosial. Baik di blog Kompasiana atau Medium, atau di platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Gak semua kritik dan pujian perlu ditanggapi berlebihan. Ambil saja mana yang bisa membangun karya menjadi lebih baik.

Sebagaimana sastrawan boleh menulis apa saja di karya mereka, dengan bahasa paling nyentrik atau paling gila sekalipun, asalkan gak melanggar undang-undang, maka mereka juga harus fair saat orang lain bicara tentang hal yang sebenarnya gak mereka inginkan tentang karya mereka. Cukup adil sebenarnya bukan?

Karya dibalas dengan karya. Kritik dibalas dengan perubahan menjadi diri yang lebih baik. Pujian dibalas dengan terimakasih. Dengan itu jadilah orang dewasa.

Kenyataannya dunia sastra serius itu memang "kejam". Dan itu seharusnya menjadi pelecut semangat, untuk membuat karya yang semakin baik lagi. Bukannya justru jadi ajang untuk marah-marah, karena karyanya disalahkan, atau dianggap buruk. Buruk menurut siapa? Kalau memang buruk, dan yang menilai buruk itu bukan orang sembarangan, ya mengaku saja.

Jangan sampai karya atau kritik dibalas dengan debat kusir dan kalimat bela diri. Atau sebuah pujian dibalas dengan lapang dada. Seolah merupakan orang yang merasa paling pantas menerima pujian itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun