Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Tentang Buku "Menjadi Muslim Moderat" yang Baru Saya Beli

13 Mei 2020   03:52 Diperbarui: 13 Mei 2020   04:13 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

CATATAN GAK JELAS TENTANG CERITA BELI BUKU "MENJADI MUSLIM MODERAT"

Ketika sekilas melihat buku ini saat masih masa pre order, rasanya "insting" saya tergerak. Ini buku yang bagus. Harus saya beli. Tapi akhirnya saya melewatkan masa pre order itu, karena memang belum memiliki uang.

Buku itu akhirnya lewat begitu saja dari daftar "want to read" di akun Goodreads saya. Disinilah saya merasa kadang uang juga penting. Hehehe.

Tapi setelah senior saya memperlihatkan daftar isi buku ini di Facebook, saya jadi mau gak mau harus beli. Ada rasa sayang seribu sayang kalau sampai gak beli. Bisa-bisa saya menyesal selama lima tahun ke depan. Meskipun gak punya uang. Meskipun harus pinjam dulu uang ke seseorang. Pokoknya beli. Dan alhamdulilah masih kebagian yang edisi tanda tangan penulis. Hehehe.

Satu kata, buku ini menarik untuk orang awam seperti saya. Yang ingin memulai pondasi belajar masalah akidah kembali. Masih pondasi. Saya bahkan tak tahu banyak dan tak bisa menjelaskan diskursus tauhid secara sederhana. Dulu saya belajar akidah di pondok gak begitu giat. Sebatas kejar makna. Ikut madrasah dengan kurikulum yang bagus, tapi jarang di muthalaah kitabnya. Mau kurikulum sebaik apapun, kalau orangnya malas juga sama saja. Salah saya sendiri sebenarnya. Tapi mau gimana lagi, waktu gak bisa diputar kembali.

Akidah tauhid di pesantren saya memakai pemikiran yang dirumuskan oleh Imam Sanusi. Lewat Syarah Ummul Barohin sebagai salah satu kitab tingkat akhirnya. Seingat saya, Syarh Ummul Barohin itulah kelas tertinggi di pesantren saya. Setelah itu, siswa mulai diajarkan diskursus tasawuf dalam kitab Mau'idhotul Mukminin.

Yang saya tahu tentang tauhid akhirnya hanya sedikit. Sebab saya adalah salah satu siswa yang gak disiplin di kelas. Saya itu salah satu orang paling gampang ngantuk di kelas. Tanya semua sahabat saya, pasti kesan mereka tentang saya begitu. Hehehe.

Pas pelajaran sering ketiduran, ditambah lagi ada musibah kitabnya jarang dibuka pula di kamar. Soalnya dulu yang diajarkan banyak sekali. Tidak hanya satu diskursus. Jadi, kadang saya merasa sampai terseok-seok jika semua harus didalami.

Saya baru menyadari arti penting ilmu akidah itu justru setelah gak ngaji lagi di madrasah. Saya pikir gawat juga kalau belajar otodidak. Tanpa guru sama sekali. Mau sok-sokan buka-buka kitab yang "berat-berat" akhirnya gak berani karena takut salah. Tapi kalau gak mbukak-mbukak kitab sama sekali juga akhirnya akan jadi orang bodoh selamanya. Disitulah akhirnya saya jadi dilema.

Sampai di rumah inilah akhirnya saya menyesal. Mau belajar lagi kok bingung harus mulai dari mana. Kitab saya masih di pondok semua. Akhirnya cuma bisa lihat kitab pdf yang ada banyak sekali itu. Tapi kok makin dibaca makin tambah bingung. Pikir saya, "pembahasannya kok jauh-jauh amat ya." Rasanya otak saya gak nuntut mau mengikuti. Yang nggambar di kepala saya cuma dasar-dasar saja. Kok ini di kitab yang saya temukan pembahasannya sungguh melangit. Memahami rumusan aqoid lima puluh dalam manhaj Imam Asy'ari rasanya gak cukup pakai "naluri", sebab logika juga harus jalan.

Mau konsultasi sama senior kok takut ganggu waktunya. Saya sebenarnya punya banyak senior tapi banyak yang sudah memiliki kesibukan masing-masing di rumah. Tak mungkin rasanya saya jika tiap hari harus mengajukan pertanyaan "sepele". Waktu beliau-beliau tentu jauh lebih berharga kalau cuma sekedar diluangkan buat anak kecil seperti saya.

Memang sih yang namanya belajar di zaman online seperti sekarang ini gak harus langsung bertemu muka. Tapi saya harus sadar diri tentunya. Soalnya kalau mau konsultasi, ujung-ujungnya pasti jadi les privat online jarak jauh yang mungkin gak efektif. Hehehe...

Akhirnya saya hanya bisa membuka-buka lagi pelajaran saya di pondok dulu dari kitab pdf. Pas waktu senggang. Itu pun gak bisa setiap hari. Yang paham ya alhamdulilah, gak paham ya langsung skip ajalah daripada salah paham. Tapi apa mau dikata, ternyata saya sadari kebanyakan sering gak pahamnya, daripada pahamnya. Inilah nasib orang bodoh yang belajar otodidak. Hehehe.

Saya masih gak berani untuk melangkah lebih jauh membuka banyak kitab pdf selain kurikulum di pondok dulu. Karena gak ada yang membimbing langsung. Saya sampai berpikir apakah kebodohan saya ini akan semakin berlarut-larut? Padahal ada banyak hal yang belum terjawab dan mengganggu pikiran saya. Apesnya, saya gak tahu gimana cara menjawab kemusykilan itu. Mau tanya siapa, mau mulai dari mana.

Sampai akhirnya saya senang sekali saat menemukan buku ini. Terimakasih banyak kepada penulis yang baik hati berkenan berbagi ilmu pengetahuan. Semoga menjadi amal jariyah untuk beliau. Akhirnya saya menemukan secercah titik terang untuk bangkit dari jurang gelapnya kebodohan. Hehehe...

Awal yang baik dengan tahu sejarah madzhab tauhid yang saya anut ini. Buku ini berhasil menjawab banyak pertanyaan saya.

Andaikan ada mood, saya ingin berbagi catatan kesan membaca buku ini di sini. Mungkin bisa saya tulis secara bersambung. Sebagai pengingat pribadi agar apa yang saya baca tidak akhirnya lupa begitu saja.

Internet adalah tempat yang aman untuk menyimpan catatan. Sekaligus toh andaikan ada yang kebetulan ikut baca, siapa tahu saya dapat pahala.

Saya gak tahu lagi bagaimana harus menjalankan dawuh guru saya, bahwa santri Lirboyo yang sudah pulang harus "ngadep dampar". Sebab saya gak punya "dampar" yang guru saya maksud tersebut. Apalah daya hamba yang hanya orang desa biasa. Saya sadari saya benar-benar bukanlah siapa-siapa.

Kegiatan satu-satunya yang paling mungkin bisa saya lakukan saat ini ya cuma bikin coret-coret seperti ini. Semoga guru saya menghitung ini termasuk bagian dari khidmah saya kepada beliau untuk menyampaikan ilmu yang saya dapatkan. Walaupun sedikit. Mengenalkan dunia pesantren kepada internet. Kepada pembaca tulisan saya yang cuma sedikit di Facebook, Kompasiana, Quora, dan lain-lain.

Maafkan hanya ini yang paling mungkin bisa saya lakukan saat ini sebagai bentuk khidmah.

Setidaknya jumlah yang sedikit itu juga angka. Daripada tidak ada sama sekali. Timbangane gak lapo-lapo. Walaupun saya yakin seyakin-yakinnya, banyak orang yang akhirnya gak baca tulisan saya, karena saya itu orangnya sering khilaf, gak sadar kalau nulis selalu aja kepanjangan. Padahal biasanya orang baca tulisan di medsos itu ya paling mentok cuma tiga paragraf.

Lagi pula gak mungkin lah orang seperti saya kok ikut menyemarakkan ngaji online. Selain bukan orang pinter ngomong, "teman" medsos saya cuma lima ratusan orang. Itupun sembilan puluh persen isinya orang-orang yang jauh lebih senior semua. Suuladab lah saya...

Mohon maaf kepada guru saya. Hanya sebatas inilah yang saat ini bisa saya lakukan. Andaikan saya bisa berbuat lebih, ingin sebenarnya nyumbang harta atau tenaga juga. Tapi apalah daya, saya bukan orang kaya. Mau beli buku ini saja harus hutang dulu.

Saya berharap bisa konsisten. Semoga selalu mendapat limpahan anugerah taufiq dan hidayah. Sebab saya masihlah hamba yang amatir dan kadang lupa-lupa ingat. Masih sering lupanya daripada ingatnya.

Saya belum bisa sepenuhnya meneladani guru saya. Almaghfurlah KH. Abdul Aziz Manshur Pacul Gowang adalah guru saya. Saya tahu beliau pernah dawuh kalau beliau sedang sakit, obatnya adalah ngaji.

Saya pernah cetak dawuh itu dalam bentuk stiker. Saya jual dulu berharga dua ribuan. Agar kawan-kawan santri yang lain juga tahu keistimewaan beliau tersebut. Agar dawuh tersebut abadi dan tertempel di banyak dinding-dinding kamar para santri. Semua orang bisa membaca itu. (Jadi ingat zaman dulu perjuangan keliling pondok panas-panasan dagang stiker... Hehehe...)

Saya belumlah seperti guru saya di Lirboyo, KH. Abdul Karim. Saya pernah dengar dengan telinga saya sendiri dari beliau KH. Ibrahim Hafidz. Kalau salah satu obat beliau saat sakit adalah ngaji.

Terlalu jauh rasanya untuk apa-apa nabi Muhammad Saw bagi saya. Sebab kisah-kisah guru saya itu saja bagi saya sudah amat sangat luar biasa dan belum bisa sepenuhnya saya teladani dengan sempurna. Takutnya saya malah jadi orang yang maghrur dengan berdalil apa-apa nabi Muhammad Saw. Maqom saya gak setinggi itu.

Saya masih orang yang hiburannya adalah nulis, nonton film atau baca buku. Dengarkan lagu-lagu yang easy listening. Dan sesekali jalan-jalan atau nonton televisi.

Belum orang yang bisa menghibur diri dengan aktivitas ilmiah seperti generasi salaf salih dulu. Selain saya yakin kehidupan utama ulama salaf bukanlah tentang menulis kitab dan mengaji. Kehidupan utamanya setahu saya ya sesuatu yang gak berani saya tulis disini.

Nulis kitab, belajar, dan ngaji, mungkin semata-mata sudah merupakan hal yang bisa menghibur diri bagi generasi ulama salaf. Selain tentunya hal tersebut bisa mendatangkan manfaat bagi umat manusia.

Sebenarnya selain diskursus akidah, saya juga ingin mengulangi kembali pelajaran tentang fikih. Tak usah jauh-jauh sampai kitab Mahalli. Fathul Qorib saja masih banyak yang belum paham. Memang dalam hal ini saya masih awam.

Beberapa pertanyaan sederhana yang diajukan adik saya terkait puasa saja ada yang terpaksa saya jawab gak tahu. Ya memang saya gak tahu, mau gimana lagi. Saya sedang mencoba membiasakan diri untuk gak jadi orang yang sok tahu. Gak tahu ya gak tahu, buat apa pencitraan tapi akhirnya menyesatkan.

Terserah orang mau menilai saya bodoh sekalipun bagi saya gak masalah. Yang penting saya gak dapet dosa gara-gara sikap sok tahu saya. Paling enak itu jadi diri sendiri yang apa adanya.

Masak iya, saya harus jadi seperti google yang tahu banyak hal, sampai tahu berapa jarak antara bumi sampai planet Pluto itu berapa kilometer segala?

Andaikan ada juga buku semacam ini yang membahas fikih. Saya mau beli juga meskipun harus hutang lagi. Hutang kemarin aja belum lunas je. Hehehe.

Maaf curhat gak jelas. Panjang pula.

Wallahu a'lam.

12 Mei 2020 M.
Tahaddus binni'mah baru beli buku baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun