Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Catatan tentang Baca Sejarah dan Kumpulan Tulisan Prof. Boechari

3 Mei 2020   04:41 Diperbarui: 3 Mei 2020   04:51 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca sejarah itu susah-susah gampang. Beda sekali saat misalnya mengkaji diskursus fikih. Dalam konsep fikih, khazanah antar madzhab amat menjunjung tinggi perbedaan. Ada kalimat yang dipatuhi dalam bab fikih, bahwa setiap pendapat mujtahid adalah benar. Khilafiyah adalah sebuah rahmat.

Tapi tidak dalam masalah sejarah. Dalam sejarah hanya ada satu kebenaran mutlak. Para penutur sejarah hanya menyajikan kesaksian kepada kita yang tidak langsung melihat. Versi yang kian banyak akan makin membingungkan.

Pastinya ada diantara sekian versi yang didokumentasikan adalah yang paling mendekati akurat. Dan bagaimana kita bisa tahu? Wong kita sendiri tidak menyaksikan langsung kenyataannya.

Lucu juga saat melihat bahwa banyak dokumentasi sejarah justru dikodifikasikan oleh mereka yang tidak menyaksikan peristiwanya langsung. Ya mau bagaimana lagi? Ahli sejarah gak mungkin menyaksikan langsung segalanya. Mereka biasanya mengumpulkan cerita yang berserak lewat tutur masyarakat. Makanya kadang penggambaran tidak benar-benar akurat. Atau entahlah...

Kadang lucu juga saat melihat film kolosal. Yang bertema sejarah. Film perang itu pasti heboh dan sarat akan aksi menegangkan, dengan para prajurit pemberani. Tembakan yang gak pernah meleset. Seolah gak ada peluru atau panah yang disia-siakan.

Benarkah begitu?

Saya kadang tertawa geli dengan adegan yang terlalu didramatisir tersebut. Katanya sih penggambaran dalam film itu ya berlebihan. Yang demikian itu justru sangat langka. Gak semua prajurit itu disiplin.

Tanpa mengurangi rasa hormat, mereka juga sayang dengan nyawa. Artinya akan sebisa mungkin mencari aman. Bahkan kadang saat beberapa barisan mulai kolaps, akan mempengaruhi mental pasukan lain. Kalau sudah ada yang lari dari medan perang, kadang berbondong-bondong orang akan mengikuti melarikan diri.

Perang di masa lalu gak seheroik dan segagah seperti dalam film.

Sudahlah basa-basinya.

Kemarin buka-buka iPusnas dan gak sengaja menemukan buku yang bagus. Karya almarhum Prof. Boechari. Buku beliau, melacak sejarah Indonesia melalui prasasti.

Sebenarnya buku itu adalah kumpulan tulisan. Yang tersebar di banyak tempat dan dikumpulkan kemudian. Sebab ada juga bagian yang masih berbahasa Inggris.

Profesor Boechari wafat sekitar tahun 1991. Salah satu pengajar di Universitas Indonesia kalau gak salah. Dan beliau sangat banyak berjasa dalam penggalian sejarah Nusantara kuno. Banyak fakta sejarah yang berhasil beliau "luruskan". Salah satunya misalnya terkait wangsa Syailendra itu katanya.

Karya-karya beliau konon banyak membuka tabir kegelapan sejarah Indonesia yang tidak bisa dijelaskan oleh para ahli sebelumnya. Beliau adalah seorang pakar epigrafi dan sejarah kuno Indonesia yang sampai saat ini sulit dicari bandingannya.

Memang diskursus masalah epigrafi adalah salah satu cabang sejarah yang katanya sangat sulit jika didalami. Mencoba menerka-nerka isi sebuah prasasti. Dengan bahasa yang sudah gak dituturkan. Ditambah lagi kadang tulisan dalam prasasti tersebut bisa jadi sudah berubah dari aslinya. Atau mungkin sudah gak utuh tulisannya.

Menggali sisi historis Nusantara bisa dilakukan dengan epigrafi. Membaca prasasti. Bisa juga dengan filologi. Membaca kitab-kitab peninggalan leluhur. Kitab Pararaton, Negarakertagama, atau apalah. Gak begitu hafal.

Rasanya hampir menyerah bahkan saat baru sampai di daftar isi. Yang tergambar dalam kepala saya untuk bisa diikuti cuma sedikit.

Benar saja, begitu meloncat ke bab yang dimaksud, ternyata isinya benar-benar penuh kalimat asing. Nama-nama pejabat kerajaan dan segala macam bahasa kuno. Istilahnya sekarang mungkin mengidentifikasi bentuk pemerintahan kerajaan kuno.

Kalau di Indonesia ada provinsi, kabupaten, kecamatan, dan seterusnya, maka di Mataram kuno misalnya ada istilah apa saja. Setiap wilayah administrasi dipimpin oleh siapa saja. Agama resmi dipimpin oleh pemuka agama yang istilahnya apa.

Ada banyak yang menarik, cuma rasanya masih "terlalu cepat seratus tahun" untuk bisa sampai menikmati.

Lagi pula buku ini gak akan kemana-mana. Meskipun dibaca sepuluh tahun lagi, isinya tak akan berubah. Gak akan segera basi. Tetap saja relevan mungkin.

Wallahu a'lam.

April 2020 M.
Lupa tanggal berapa nulisnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun