FILM EINSTEIN, SAINS, FILSAFAT, KAUSALITAS, DAN UJIAN AKIDAH UNTUK UMAT MANUSIA
Pernah nonton film kerjasama BBC dan HBO, berjudul Einstein and Eddington? Dari kedengarannya saja sudah seperti film yang sangat serius.
Tapi benarkah?
Film ini seperti tidak menggambarkan kehidupan ilmiah Einstein. Siap-siap kecewa bagi anda penggemar fanatik. Sebab film ini menurut saya lebih mengangkat sisi lain kehidupan seorang Albert Einstein.
Bagaimana kehidupannya dengan mantan istri, dengan anak-anaknya, dan kekecewaannya kepada Universitas Berlin yang membuat penemuan gas mematikan dalam sejarah perang dunia pertama. Kepada anak-anaknya dia tidak membahas sains. Tapi mengajak untuk melihat sains sebagai manfaat yang bisa membantu manusia.
Saya memahaminya demikian, tatkala Einstein dan anaknya berada di sebuah perahu. Einstein memejamkan mata dan tidur telentang, dia mencoba membaca arah angin dari jari tangan yang dibasahi air ludah. Ia mungkin mencoba memberi tahu, dengan sains orang buta sekalipun bisa berlayar dan tak tersesat. Ia mengajak anaknya "bermain" dengan menjatuhkan beberapa telur dari ketinggian. Lalu menyisipkan pelajaran tentang arti lain dibalik hukum gravitasi.
Mengangkat juga kehidupan dengan mantan istrinya yang sama-sama menyukai fisika. Tapi karir istrinya konon harus padam sebab tampil peran sebagai seorang wanita.
Mengangkat "sisi kelam" persaingan dua universitas terkemuka dunia. Universitas Cambridge dan Universitas Berlin.
Kalau melihat foto Einstein menjulurkan lidah hasil jepretan fotografer Arthur Sasse, saya jadi berpikir mungkinkah orang seperti Einstein sebenarnya humoris? Entahlah. Saya gak pernah ketemu dia. Tapi kalau lihat penggambaran di film Einstein and Eddington, sebenarnya Albert Einstein adalah orang yang gokil dan kocak.
Ada sebenarnya mini seri tentang Einstein. Tapi episode nya terlalu banyak buat saya.
Sementara film ini masih bersetting waktu antara perang dunia pertama. Sebelum teori relativitas Einstein dikenal umum. Sebelum Einstein terkenal karena membuktikan bahwa rumusan hukum gravitasi Newton ada yang perlu dikoreksi. Bener begitu ya?
Saya mengenal nama Albert Einstein sejak duduk di bangku MTs. Tapi saya tidak akrab dengan nama Arthur Stanley Eddington yang juga jadi tokoh untuk film tadi. Eddington adalah pria religius yang menggeluti sains. Dan mengkaji pemikiran Einstein tentang teori relativitas. Kemudian dia yang membuat Einstein terkenal karena membuktikan bahwa teori Einstein tidak salah.
Saat mendengar nama Einstein, mungkin yang akan terlintas di benak beberapa orang, termasuk saya adalah konsep relativitas. Atau bahkan cerita horor tentang bom atom.
Apakah relativitas itu? Pernahkah mencoba mencari tahu arti kata yang demikian populer tadi itu?
Sebenarnya gak perlu jadi ilmuwan untuk memahami konsep relativitas Einstein secara kasar. Bukan berarti saya paham betul. Saya cuma menulis kembali apa yang saya tahu. Jadi andaikan saya salah mohon dikoreksi.
Waktu dan ruang, atau spacetime adalah sesuatu. Yang relatif. Waktu katanya tidak konstan. Artinya, waktu akan dipengaruhi oleh kecepatan. Semakin cepat Anda bergerak, waktu di sekitar anda akan semakin melambat. Sebenarnya kecepatan waktu pada setiap hal di alam semesta itu berbeda. Tergantung seberapa cepat benda itu. Waktu sebenarnya tidak sama dimana-mana. Kata teori Einstein kurang lebih demikian.
Tapi yang kita tahu waktu itu ya konstan. Karena kita selalu melihat dan mengalaminya begitu. Akhirnya ada mindset bahwa waktu itu ajek. Seperti api. Sebenarnya gak selamanya api itu panas. Gak selamanya waktu itu bergerak konsisten. Tergantung bagaimana. Karena kenyataan dan kebenaran itu kan bukan sesuatu yang kita lihat terus menerus.
Percayakah anda jika cahaya itu bisa berbelok? Cahaya yang selalu konstan bergerak lurus itu ada yang bilang bisa juga tertarik oleh gravitasi. Jatuh ke bawah. Menurut teori Einstein.
Hanya karena kita biasa melihat cahaya selalu lurus, bukan berarti cahaya gak bisa berbelok karena ditarik gravitasi.
Dan tekad kuat seorang ilmuwan bernama Eddington berusaha membuktikannya. Dibela-belain datang ke "ujung dunia". Melakukan eksplorasi gerhana untuk melihat apakah cahaya bisa berbelok. Di suatu tempat bernama Pulau Principle. Di salah satu pojok benua Afrika sana.
Eddington berusaha membuktikan apakah teori Einstein itu benar atau salah. Dan dari hasil pengamatan Eddington, Einstein terbukti benar. Kebenaran ini sekaligus merevisi bagian dari hukum gravitasi Newton yang selama ini diyakini ilmuwan. Sepaham saya begitu.
Ini sekaligus membuktikan hipotesis saya. Sesuatu itu bisa terkenal ya karena terus menerus dibicarakan. Teori relativitas digambarkan dalam film ini "hampir hilang" andaikan saja Eddington tak peduli. Kita selalu peduli untuk bicara sesuatu yang sepele. Membuat hal sepele itu lama kelamaan jadi masalah besar. Kalau sudah viral itu yo mbok gak usah tambah diviralkan. Yang ada semakin rusuh.
Kembali lagi... Einstein ini waktu kecil agak "terlambat" belajar. Dia bahkan diremehkan banyak orang karena dianggap tertinggal dari kawan sebaya yang lain. Kemampuannya dibawah rata-rata.
Konon keterlambatan itulah yang membuat saat dia dewasa, jadi mempertanyakan hal yang ditanyakan oleh anak kecil. Seperti konsep ruang dan waktu. Bagaimana hukum gravitasi dan spacetime itu bekerja. Kenapa sesuatu bisa jatuh? "Orang dewasa" mana yang mencoba bertanya begitu? Orang dewasa lain percaya pada hukum gravitasi. Tapi gak mencoba untuk mempertanyakan cara kerjanya.
***
Mempertanyakan kerja alam semesta itu adalah sejarah yang terus terulang sejak lama. Saat dulu zaman kaum filosofis. Sejak masa Aristoteles, Plato, atau Socrates. Orang sudah membuat teori tentang kerja semesta. Tapi versinya yang berkembang. Dulu dengan filsafat. Sekarang dengan sains. Istilahnya kausalitas dalam kosmos.
Selalu ada orang yang mempertanyakan hal yang sebenarnya sangat sederhana. Terkait kerja alam semesta. Sejak dulu. Pertanyaan seperti apakah api bisa membakar dengan dirinya sendiri. Itu sebenarnya soal yang klise. Tapi jadi masalah besar saat yang bertanya adalah orang besar juga. Karena berpotensi menyesatkan masyarakat jika jawaban kesimpulan mereka salah.
Dulu kaum filsafat mempertanyakan kerja alam semesta. Sekarang ilmuwan mempertanyakan itu. Dan jawaban yang dapat kita kumpulkan dari mereka sampai sekarang adalah sebatas teori. Yang pada akhirnya justru terus menerus direvisi dan dibantah oleh kaum ilmuwan sendiri.Â
Orang dulu membuat teori geosentris, Copernicus membantah itu. Galileo Galilei membuktikannya. Newton hadir dengan teori gravitasi. Einstein menyempurnakan itu. Stephen Hawking menambahkan. Dan seterusnya. Semua itu meskipun diyakini, tapi tetaplah teori. Bisa saja suatu saat nanti ada orang yang makin menyempurnakan teori relativitas Einstein. Atau menyalahkan teori big bang.
Sedangkan doktrin dalam akidah tentang kerja alam semesta bukan semata teori. Dan sejak dulu hingga kapanpun gak akan pernah berubah.
Ini mulai mencapai ranah sensitif. Sebab jika dikaitkan dengan teologi, akan ada orang yang menganggap terjadi "benturan". Ada chaos. Ada kekacauan. Seakan-akan teolog dan ilmuwan gak bisa berdamai. Ahli filsafat kok selalu kontra ahli tauhid.
Padahal ini menurut saya, kurang bijak membenturkan kerja alam semesta hasil rumusan filsuf, maupun rumusan pakar sains dengan teori akidah kita. Teori mereka "belum final". Akan terus berkembang. Dan akidah kita sudah final. Sejak dulu ya begitulah kerja alam semesta menurut keyakinan kita. Mereka masih mencari jawaban, sementara kita sudah menemukan jawaban. Jawaban mereka hari ini, belum tentu relevan untuk seratus atau dua ratus tahun lagi. Tapi jawaban kita sudah kita yakini sejak dulu. Tak akan berubah. Nggak ada istilah tidak relevan.
Semakin kita menuntut pembuktian, mungkin hanya akan menambah keraguan. Karena nalar kita sangat terbatas memahami dimensi yang demikian luas.
Manusia memang disuruh untuk berpikir dan bertanya. Tapi kepada pertanyaan yang sudah dijawab oleh agama, menurut saya manusia hanya harus percaya. Dan tak perlu mencoba membuktikannya. Karena menurut saya hanya sia-sia. Jawabannya ya sudah kita ketahui sejak awal. Proses pencarian hanya akan membawa kita kembali berputar ke tempat kita memulai.
Berpikir kritis itu ya sebenarnya bagus. Tapi tanpa adanya sekat dan batasan-batasan pokok, justru menurut saya akan berbahaya. Sebab akhirnya dilanggar mana yang harus dipikirkan, dan mana yang seharusnya cukup dipercayai tanpa perlu dipertanyakan.
Adanya jawaban dari ilmuwan dan filosof hanya sebatas pendukung. Bukannya saya gak percaya pada kapasitas mereka, tapi mungkin saja suatu saat nanti teori mereka juga akan dibantah oleh mereka sendiri. Seperti kasus geosentris dan heliosentris. Atau seperti halnya Sir Isaac Newton membuktikan banyak teori ilmiah yang ada pada era sebelum dirinya ternyata banyak yang salah. Biarkan waktu yang membuktikan.
Jika mau "pindah jalur" ke dunia sains ataupun filsafat, maka menurut saya hanya akan bertemu dua persimpangan. Yang keduanya sama-sama berbahaya. Pertama membela Tuhan dengan pembuktian ilmiah, atau persimpangan kedua, mencari Tuhan lewat penemuan ilmiah. Ini kurang bijak menurut saya.
Ingatlah bahwa sains ataupun filsafat tidak hanya sering ada ketidakcocokan dengan teologi Islam. Tapi juga kadang teori sains menyalahi ayat Bible. Sains dengan terang-terangan "menentang" gereja pada masa Galileo Galilei. Fisika jelas-jelas menantang ayat al-Kitab yang menyatakan bahwa bumi adalah pusat semesta.
Itu jika disikapi dengan sebelah mata. Tapi ada orang lain yang mencoba menyikapi itu dengan lebih ramah.
Di Indonesia, tak usah jauh-jauh, ada orang seperti Profesor Thomas Djamaluddin. Yang berusaha mengharmoniskan hubungan antara sains dengan teologi. Menanamkan pemahaman bahwa sebenarnya keduanya saling mendukung.
Salah satu koleksi buku beliau yang saya punya, judulnya seingat saya adalah buku Semesta Berthawaf.
Adanya teori dari fisikawan tentang kerja alam semesta, serupa ujian keimanan untuk umat muslim. Bagaimana kita melalui hal tersebut. Bagaimana akidah kita tetap teguh meskipun bukti yang nampak otentik sekalipun menuntut akal kita membangkang. Seperti halnya banyak hal lain, itu juga adalah cobaan. Mendewasakan hati kita untuk senantiasa percaya kepada keajaiban kuasa Tuhan semesta alam.
Tapi bagaimana pun juga, fisika adalah pengetahuan. Yang memiliki sumbangsih besar pada kemajuan umat manusia. Tanpa teori fisika, mustahil bagi kita untuk dapat menikmati "keajaiban" yang dua abad silam tidak pernah ada. Seperti bisa terbang di udara. Atau bisa melihat foto bumi dari luar angkasa. Ada kereta, ada pesawat, dan gak yang lain juga termasuk jasa fisika.
Untuk itulah fisika menurut saya seharusnya diciptakan. Mempermudah kehidupan manusia. Bukan justru menghancurkan dan merusak keyakinan manusia akan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Di dunia ini, rasanya tak ada pengetahuan yang bebas risiko. Semakin tahu seseorang, semakin banyak pula konsekuensi dan tanggung jawabnya. Apapun itu tentunya. Fisika, sains, ataupun filsafat, sebenarnya bisa berguna jika dipakai dengan baik. Seperti halnya juga bisa berbahaya jika disalahkan gunakan.
Saran saya, jangan sampai memikirkan "hal-hal kecil" seperti itu membuat lupa diri pada apa yang ada dibalik itu semua.
Jikalau kita masih saja selalu mempertanyakan hal yang irasional dan tak masuk akal, menuntut harus selalu ada jawaban atau sekedar sebuah alasan, maka kapankah kita bisa menyadari kelemahan diri sebagai entitas makhluk yang hanya diberikan sedikit anugerah tentang pengetahuan? Kapankah manusia bisa menyadari kehambaan dirinya.
Betapa dalamnya maksud dawuh berikut. Semua yang kita pelajari di dunia ini akan menuntun kita ke pemahaman akan kalimat ini.
Wallahu a'lam...
23 April 2020 M.
Selamat pagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI