Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Konsep Negara Islam Menurut Pandangan Guru Besar Al-Azhar, Syaikh Ahmad Thayyib

22 April 2020   06:50 Diperbarui: 22 April 2020   06:57 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca salah satu buku karya Profesor Boechari kemarin saya jadi terbayang-bayang akan betapa rumitnya konsep kenegaraan kuno di bumi nusantara. Saya bukan orang pemerintahan. Bukan politikus. Jadi pendapat saya tentang negara gak ada yang penting. Tapi saya punya unek-unek yang ingin saya utarakan. Dengan menulis disini saya harap jika memang saya salah ada yang mau mengoreksi.

Dalam sejarah kerajaan nusantara sesuai buku Profesor Boechari, dinamika kepemimpinan itu begitu rumit. Seorang raja dipilih melalui prosedur yang tidak sederhana. Dia dibantu oleh beberapa bawahan dan pejabat setingkat menteri yang istilahnya kadang berbeda-beda antar satu kerajaan dan kerajaan lainnya. Ada tokoh pemimpin agama. Ada pembagian provinsi dan wilayah. Pemimpin setiap wilayah. Bahkan nantinya juga ada hubungannya bilateral dan multilateral. Kemudian ada hubungannya dagang yang mencakup ekspor dan impor. Itu baru sejarah di nusantara kuno. Kita bisa membayangkan sedikit kompleksnya gambaran tersebut dalam bentuk pemerintahan Indonesia saat ini. Sebagai visualisasi konkrit.

Sistem pemerintahan di luar nusantara juga memiliki acuan sendiri. Konsepnya terus berkembang seiring berjalannya waktu. Jadi seolah tak ada konsep baku, harus begini atau begitu. Ya lihat kondisi sosial ekonomi dan pertimbangan lain juga. Karena cakupannya bukan lagi memperhatikan komunitas atau agama saja. Tapi terkait juga dengan keberlangsungan hidup seluruh umat manusia. Muslim maupun non muslim. Ijtihad politik tentunya dibutuhkan. Sebab disadari atau tidak, bukan hanya umat muslim, non muslim juga memiliki pandangan dan cita-cita tentang kedamaian dunia. Yang cinta damai bukan hanya orang Islam saja. Makanya sekarang ada liga bangsa-bangsa. Pernahkah kita memperhatikan itu?

Maka pandangan masalah ini sebaiknya makin luas. Terlalu egois rasanya jika sudah masuk dalam ekosistem kebersamaan seluruh dunia kok mengunggulkan komunitas sendiri. Apalagi masih mengadopsi pola pemikiran yang mengedepankan rasisme atau fanatisme. Konsep tersebut dalam hukum internasional sudah dipandang tercela.

Memimpin negara itu ya nggak gampang. Kalau ujuk-ujuk mau mendirikan khilafah, paling-paling nanti baru sampai di masalah administratif dan pemilihan khalifah saja pasti sudah geger-gegeran. Itu seperti mau membentuk negara dari nol lagi. Meskipun rencananya mau meniru persis konsep yang pernah ada. Taruhlah kerajaan Mataram yang dibangun oleh Panembahan Senopati. Diberi tanah di daerah yang sekarang kita sebut Ngayogyakarta Hadiningrat oleh raja Pajang Sultan Hadiwijaya, kalau gak salah. Meskipun andaikata Raden Sutawijaya mau meniru konsep kerajaan Pajang untuk membangun bumi Mataram, tetap saja realisasinya tidak bisa sama persis.

Pernahkah berpikir nanti khalifahnya siapa. Pemilihannya bagaimana. Apakah musyawarah atau demokrasi. Ahwa atau pasrah ke KPU. Nanti nasib pemimpin sebelumnya akan diapakan. Kalau ada pemberontakan dari angkatan bersenjata bagaimana. Kalau negara jadi kosong tanpa pemimpin kemudian banyak daerah memerdekakan diri mau gimana. Sudah diantisipasi belum?

Pikirkan juga jangka panjangnya akan seperti apa. Jangan hanya punya ide tapi tanpa memikirkan risiko dan akibatnya. Sebab pasti kalau sudah merembet ke masalah "sederhana" seperti pembagian wilayah juga akan makin sulit. Nanti wilayah ini dipimpin siapa. Pemuka agama ini yang mimpin siapa. Belum lagi penyusunan undang-undang. Mau pakai UUD 45 atau bahkan mau bikin undang-undang baru. Kalau mau bikin baru yang mengkonsep siapa. Acuannya bagaimana. Rasanya yang ada bukannya damai, malah semakin kacau balau. Ekonomi bisa jatuh. Lihat saja, bahkan isu kecil bisa melemahkan nilai Rupiah. Apalagi hal semacam ini. Bisa-bisa uang orang se Indonesia yang disimpan di bank gak ada harganya lagi. Imbasnya ke siapa nanti?

Kalau sampai berpikir ke situ, jadi tahu maksud dawuh sesepuh. Bahwa bangsa Indonesia untuk saat ini belum mampu diubah menjadi khilafah. Realisasinya yang tidak memungkinkan. Tapi entahlah. Itu yang saya pikirkan. Guru saya mengatakan saat ini Indonesia memang tidak mampu mendirikan khilafah. Awalnya ego saya berpikir bahwa Islam selalu menang. Tapi akhirnya banyak yang saya sadari bahwa nyatanya ide itu tak selamanya bisa diwujudkan. Seperti yang pernah saya tulis, bahwa dalam berpikir kita bisa memandang sejauh mungkin. Tapi dalam bertindak, kita hanya bisa melakukan apa yang paling mungkin.

Saya menyimak pemaparan Syaikh Ahmad Thayyib tentang klarifikasi fikih dalam dua macam. Fikih realita dan fikih nash. Fikih realita, fiqhul waqi' bisa dikatakan tidak bertendensi dengan nash, menurut keterangan beliau. Karena fikih realita ada kaitannya dengan kondisi dan situasi yang berkembang pada zaman tersebut.

Bahkan menurut Syaikh Ahmad Thayyib, fikih kenegaraan waktu era khalifah ada yang mengadopsi sistem yang berlaku di Romawi. Seperti contoh kecil, misalnya adalah konsep mu'ahadah. Perjanjian non agresi. Jadi, fikih kenegaraan sebenarnya bukanlah fikih nash. Fikih nash tidak bisa ditawar. Sedangkan konsep negara Islam adalah fikih sebagai bentuk penyesuaian zaman.

Masalah ini sudut pandangnya luas. Pembahasannya melangit. Karena terkait juga dengan relevansi dan hubungan internasional. Urusannya adalah perdamaian dunia. Bukan lagi masalah internal muslim semata. Perhatikan juga keharmonisan hubungan antar agama.

Kalau dipahami sejarahnya, memang kondisi bangsa Arab saat itu menuntut untuk demikian. Istilah dari penjelasan Syaikh Ahmad Thayyib, mengatas namakan negara Islam karena "terpaksa". Sebab kalau seandainya gak mengatasnamakan negara Islam, maka tidak dianggap memiliki teritorial oleh kerajaan lain yang berkuasa. Romawi misalnya. Atau Persia Sassanid. Sehingga ujung-ujungnya rawan diserang dan wilayahnya dicaplok. Harus ada tindakan tentunya, salah satunya dengan memproklamirkan diri sebagai sebuah negara Islam. Sebab baru kali ini bangsa Arab bisa bersatu.

Tanpa mengurangi rasa hormat, dulu-dulu bangsa Arab itu setahu saya jarang bisa akur. Antar kabilah sering pecah peperangan. Romawi ataupun Persia juga setahu saya tidak begitu "berminat" melakukan agresi. Karena oleh kedua kekuatan besar itu, bangsa Arab masih dipandang rendah. Istilahnya, siapa yang mau menguasai daerah tandus yang gersang dan gak ada sumber daya alamnya. Oleh mereka, bangsa Arab itu gak begitu dipandang berbudaya dan berpendidikan. Wallahu a'lam.

Tapi segalanya cepat berubah. Setelah nabi Muhammad Saw diutus, bangsa Arab bisa bersatu dibawah satu pemimpin tunggal. Belum pernah terjadi sejarahnya semacam ini setahu saya bahkan sejak zaman Nabi Ismail as. Biasanya bangsa Arab itu sangat menjunjung tinggi sektarian. Saling unggul antara satu dan kabilah lain. Meskipun kadang mengadakan aliansi antara satu kabilah dengan kabilah lain, tapi sebelum nabi Muhammad Saw diutus, tidak pernah ada setahu saya aliansi tunggal dalam sejarah Arab yang demikian kompak. Seluruh Arab dari ujung ke ujung bersatu. Atau cuma saya saja yang kurang membaca. Mungkin ada yang tahu? Wallahu a'lam.

Melihat sejarah yang terus bergerak itu, bila "memaksakan diri", bisa-bisa malah jadi berat sebelah. Karena mengharuskan hukum yang belum bisa dilakukan. Padahal ini fikih realita.

Istilahnya dalam ushul fikih, walaupun konteksnya agak ngepas-ngepasne, ya dawuh ibqa'u maa kaana 'alaa maa kaana itu. Atau diktum bahwa segala sesuatu itu aslinya semuanya boleh dilakukan. Kecuali yang benar-benar ada larangannya. Kalau nabi Muhammad Saw memerintahkan sesuatu, kita melakukannya semampunya. Dan di Indonesia ini, kita sudah melakukan fikih semampu kita. Apa yang paling mungkin kita lakukan sudah kita lakukan.

Dalam hal ini mengkonsep Pancasila tidak ada larangannya. Tidak ada perintahnya juga. Jadi tidak salah jika dilakukan. Karena termasuk bagian dari ijtihad politik yang paling mungkin dan paling relevan untuk dilakukan. Maksudnya, adakah konsep lain selain Pancasila yang bisa menyatukan Indonesia? Adakah alternatif lain? Jika memang ada, apakah mungkin dilakukan? Berpikir realistisnya kira-kira begitu. Kalau memang gak setuju Pancasila, ya silahkan punya ide apa yang lebih baik. Bisakah direalisasikan idenya? Sudah dipikirkan baik buruknya? Kita sudah dewasa semua. Jangan melulu membahas teori. Harus ada aksi dan bukti.

Karena fikih kenegaraan itu sepaham saya dari dawuh Syaikh Ahmad Thayyib adalah fikih realita. Yang bisa kita sesuaikan dengan kondisi saat ini. Bukan fikih nash yang memang ada perintah langsung dalam Alquran, hadis, maupun ijma', sesuai koridor madzab imam Syafi'i. Beda ceritanya kalau masalah salat lima waktu. Zakat. Puasa. Itu gak bisa ditawar lagi. Karena merupakan harga mati yang harus dipertahankan, meskipun konsekuensinya harus dengan merubah konstitusi. 

Andaikan saja konstitusi, UUD 45, ataupun Pancasila melarang itu. Tapi kenyataannya tidak demikian bukan? Justru konsep yang dibuat oleh founding father bangsa ini dapat mengayomi itu semua. Bisa mengayomi bukan saja umat Islam. Tapi umat non muslim juga. Pernahkah kita berpikir tentang perasaan minoritas? Mereka juga manusia seperti kita. Nha, setelah tercipta kedamaian itulah kita bisa melakukan dakwah kepada non muslim. Seharusnya sekarang ini masa damai. Sudah waktunya makin mengembangkan syiar Islam, bukan meributkan hal yang gak perlu diributkan.

Gak ada kok setahu saya ide yang begitu luar biasa seperti Pancasila. Kita disuruh bikin konsep universal yang menyeluruh dan bisa menandingi Pancasila ya rasanya tidak mungkin. Belum ada alternatifnya. Andaikan saja ada orang yang bisa bikin alternatifnya pun, belum mungkin untuk direalisasikan. Karena gak relevan.

Adakah nash Alquran dan hadis yang shorih dan didukung ijma' bahwa mendirikan negara itu harus pakai konsep khilafah? Syaikh Ahmad Thayyib seorang guru besar Al-Azhar sendiri dawuh kalau memang gak ada. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada beliau, jika anda tahu ada dalilnya, mohon beritahu saya.

Wallahu a'lam.

22 April 2020 M.
Pagi-pagi kok mendadak jadi serius.

Sumber:
youtu.be

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun