Yang salah adalah Pi tidak konsisten. Ia melakukan ritual banyak agama sekaligus. Ayahnya yang sekuler mengejek, saat Pi menjadi muslim, Hindu, dan Kristen sekaligus, maka sejatinya dia tidak mempercayai siapapun.
Adakah orang yang demikian? Kenapa tidak. Dunia begitu luas. Kehidupan dalam mayoritas kadang membuat banyak orang menutup mata akan perbedaan. Hukum alam tentang minoritas biasanya akan selalu ada. Gejala alam adalah bagian dari warna. Saya jadi ingat kisah agama Sikh. Tapi saya gak ingin cerita itu hari ini.
Ini hanya menurut saya pribadi. Karena kita hidup di lingkungan mayoritas, jadi akan sulit memahami maksud sebenarnya dari kata toleransi. Masih menurut saya, kadang orang gak begitu punya pondasi kuat, tapi mudah bicara toleransi. Akhirnya kebablasan. Padahal maksudnya mungkin gak sesederhana itu.Â
Sebab dakwah lintas agama itu hal kompleks dan sensitif. Rasanya akan sulit dilakukan tanpa adanya tenggang rasa. Tapi tetap dengan catatan tidak mencemari akidah kita sendiri. Makanya pertama kali kita butuh prinsip. Mana yang boleh dan mana yang nantinya dipertahankan jadi harga mati saat berbaur bersama komunitas agama lain.
Butuh pengalaman langsung, bukan hanya teori. Jadi lebih selamat untuk diam saja.
Pi, seperti halnya manusia pada umumnya. Dia terkesima pada awalnya oleh sikap ramah pemeluk agama lain. Yang dilihat pertama kali oleh kacamata seorang remaja polos yang tidak agamis adalah keramahan.Â
Berawal dari itu dia melihat ternyata agama mengajarkan kemuliaan. Islam, Kristen, ataupun Hindu di daerahnya. Semua mengajak kebaikan. Lalu dia mulai tertarik. Untuk tahu lebih dalam.
Bagaimana menanam nilai itu? Mungkinkah kepada orang seperti itu kita akan langsung mengenalkan rukun Islam? Mungkin pertama kali bisa dimulai dengan senyuman ramah terlebih dahulu. Entahlah. Toleransi itu penting. Tapi lebih penting lagi, terlebih dahulu diri sendiri harus kuat berpijak.
Sudahlah... Mendadak saya gak mood lagi untuk meneruskan ceritanya. Ini tulisan suka-suka, jadi nulisnya juga suka-suka. Kalau mau melanjutkan tulisan ini sendiri ya silahkan...
***
Satu tambahan catatan kecil buat saya sendiri. Saat kita hanya melihat filmnya saja, kita gak mungkin menemukan kalimat semacam ini dalam inti kisah Life of Pi.