Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kegilaan, Wacana yang Perspektif

3 Agustus 2020   06:11 Diperbarui: 3 Agustus 2020   07:28 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Salah satu guyonan KH. Abdurrahman Wahid kepada Fidel Castro adalah tentang "kegilaan." Bahkan Washington post sempat menulis tentang ini.

"Indonesia's first president, Sukarno, was crazy about women, he says. The second president, Suharto, was crazy about money. Now, the third president, incumbent B.J. Habibie, well, he's just crazy. And then Wahid, fondly known here as "Gus Dur," laughs uproariously at his own humor."

Gila wanita, gila harta (versi Washington Post), benar-benar gila, dan membuat semua orang jadi gila.

Tentu istilah gila bukan hanya berarti makna sebenarnya. Ini juga bisa berarti metafora. Orang yang berfikir melampaui zaman juga bisa disebut gila. Orang yang terlalu berbeda dengan lingkungan juga siap-siap divonis gila. Orang yang berani menentang kemutlakan akan dianggap orang gila. Maka saya ingin sedikit menulis tentang kisah-kisah orang "gila."

Tak perlu membahas Vincent Van Gogh. Karena pelukis itu memang divonis gila. Waktu tinggal di Perancis, dia ditengarai mengidap gangguan kejiwaan akut. Sehingga harus dirawat di rumah sakit jiwa Saint-Remy Perancis. Salah satu bentuk kegilaannya, adalah yang tertuang dalam scene di film Starry Starry Night. Dia potong telinganya sendiri, dan kirimkan potongan itu ke seseorang. Segila-gilanya Atta Halilintar membuat video prank, rasanya tak sampai hati memotong telinga sendiri. Padahal lukisan Van Gogh begitu bagus.

Jadi, dongeng tentang bumi bulat atau datar sebetulnya adalah kisah lama. Kita mungkin akan menertawakan orang yang masih mengatakan bumi itu datar hari ini. Kecuali mereka cuma berani mengatakan itu di forum-forum kecil. Di kanal YouTube pribadi. Di sesama komunitas flat earth. Atau yang ditantang berdebat hanya anak lulusan SMA. Fenomena semacam ini saya kira wajar saja. Tapi faktanya, mereka gak berani mengatakan itu di forum ilmuwan. Di tengah konferensi NASA. Mereka akan dianggap gila jika melakukan itu.

Begitu kira-kira apa yang dilakukan Galileo Galilei dulu sekali. Kebanyakan orang yakin bumi datar. Dan yakin bumi adalah pusat semesta. Lebih gawat lagi, hal itu juga dilatar belakangi isu agama. Geosentris adalah "fatwa gereja." Tapi Galileo Galilei tak ragu mengatakan bumi bukan pusat semesta dengan lantang. Ia mendukung teori Copernicus tentang Heliosentris. Dia tidak mendebat anak SMA, tapi menantang para ilmuwan. Melawan fatwa pemuka agama. Ia bisa buktikan hipotesis Copernicus. Tak ada jawaban logis yang bisa mematahkan semangat Galileo Galilei, selain tuduhan bahwa dia sudah gila. Dan tambahan hukuman penjara sampai mati. Tapi kita tahu fakta hari ini, siapa yang benar, siapa yang salah.

Masih berani berpikir melampaui zaman?

Lihat kisah Edwin Hubble. Orang yang memiliki ide tentang teleskop luar angkasa. Teleskop Hubble. Saat kita menempatkan teleskop di bumi, gambar yang didapat tidak bisa akurat. Karena terhalang oleh beberapa hal yang ada di bumi, atau mungkin atmosfer. Sekalipun teleskop itu ada di puncak gunung. Tentu tak masalah jika yang dilihat hanya langit yang dekat. Tapi bagaimana jadinya saat kita hendak meneropong galaksi tetangga seperti Andromeda, yang jaraknya saja ratusan ribu tahun cahaya. Ide teleskop luar angkasa sebenarnya luar biasa, hanya saja terdengar gila. Untuk saat itu.

Masih banyak lagi. Tapi tangan saya sudah terlalu capek untuk nulis itu. Anda juga mungkin sudah males mau baca. Sebab kisah mereka banyak dan terkenal. Langsung merayap pada kesimpulan saja. Tak perlu premis yang berlebihan.

Jadi, saya ingat sebuah narasi yang cukup bagus, lalu dibangun dalam naskah cerita Shutter Island. Saat memperhatikan dialog disana, kita seperti sudah kehilangan definisi tentang depresi. Penyakit kejiwaan itu naratif. Bagaimana kita menilai seseorang yang jiwanya tergoncang? Tidak bisa. Hanya bisa dilihat dari sudut pandang orang lain. Orang gila tak akan mengakui dirinya gila. Orang depresi tak akan menyadari dirinya sedang "sakit."

Seperti akhir hidup Alan Turing yang ironis. Dia seorang diri, dan semua orang meninggalkannya. Padahal sumbangsih pemikiran yang dia hasilkan lewat cikal bakal komputer, adalah hal yang luar biasa. Untuk saat itu. Siapa yang pernah menduga, bahwa sebuah mesin juga bisa berpikir. Imitation Game itu bagus loh, kisah pemecahan kerja mesin sandi enigma yang luar biasa sulit.

Pada akhirnya, kegilaan adalah perspektif. Tergantung kamu melihat itu dari sudut pandang siapa.

Selasa, 31 Maret 2020 M.
Terakhir bulan ini. Saya ingin berhenti dulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun