Ditengah anjuran untuk melakukan psychical distancing, masih ada golongan minoritas yang tetap ngotot memegang teguh prinsip, yang berujung pada fatalisme dalam teologi.Â
Sebenarnya tidak salah saat meyakini bahwa segala apa yang terjadi di alam semesta sudah menjadi takdir yang kuasa. Dan bersikap pasrah total menghadapi peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam tiap bunga rampai kehidupan.
Menolak mentah-mentah hukum kausalitas, dan percaya tiap definisi yang terjadi, bahkan secara atom sekalipun adalah keajaiban penciptaan.Â
Pemahaman atomistis semacam ini justru dilantangkan ditengah ajakan pemerintah untuk menjauhi kerumunan. Mereka percaya hidup mati ada di tangan Tuhan, sehingga tidak percaya pada fatwa tenaga medis.
Tentu sebenarnya hal ini adalah kesalahan fatal, sebab mereka akan cacat pemahaman saat dihadapkan pada situasi lain yang terang-terangan nampak lebih genting.Â
Semisal terperangkap di kobaran api, atau terjebak di dalam kandang buaya. Apakah mereka lebih memilih pasrah dan mengharapkan suatu keajaiban?Â
Jika benar-benar hal itu dilakukan, mungkin masyarakat yang menyaksikan akan memvonis mereka sebenarnya sedang melakukan tindakan bunuh diri. Mengatakan "mereka ini tidak waras."
Dalam risalahnya, Raf'u-l-Malam 'an al-A'immat al-A'lam, Ibn Taimiyyah punya cerita tentang epidemi yang menyerang di masa kekhalifahan 'Umar ibn al-Khaththab. Katanya, ketika 'Umar tiba di Sargh, dekat Tabuk, ia mendengar kabar bahwa di Syria sedang merebak wabah kolera. Sang khalifah langsung bermusyawarah dengan para Muhajirin, lalu berkonsultasi dengan kaum Anshar tentang tindakan yang bisa ia lakukan.
'Umar, kata Ibn Taimiyyah, mencari sunnah Nabi tentang epidemi, tapi para Sahabat yang lain hanya bisa menyampaikan opini pribadi mereka, hingga 'Abd ar-Rahman ibn 'Auf datang dan menuturkan hadis, "Bila wabah melanda sebuah negeri ketika Engkau sedang berada di sana, jangan lari dari wilayah tersebut! Dan bila wabah tersebut menyerang negeri lain, jangan pergi ke wilayah tersebut."
Sunah nabi Muhammad Saw bahkan sejak dulu sudah mengajarkan tentang cikal bakal apa yang kita sebut hari ini sebagai lock down. Hanya beberapa minoritas nampak antusias, membenturkan kejadian dengan pemahaman yang kurang tepat dilakukan.Â
Bukankah hukmul hakim yarfa'ul khilaf? Ketika yang punya otoritas sudah mengetuk palu, maka detik itu pulalah tiada lagi yang perlu diperselisihkan. Kita semua hanya tinggal mencapai keharmonisan, saling menjaga untuk mencapai tujuan mulia.
Wallahu a'lam.
27 Maret 2020 M.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H