Dakwah dengan Mengesampingkan Simbol
Perjanjian Hudaibiyah, sebuah peristiwa amat bersejarah yang menjadi semacam tonggak dimulainya kejayaan Islam di jazirah Arab. Peristiwa tersebut amat mengajarkan kita, betapa Nabi Muhammad Saw begitu merindukan dakwah Islam tanpa adanya pertumpahan darah. Tak ada perang. Tak ada angkat senjata.
Perjanjian Hudaibiyah, sebuah perjanjian gencatan senjata yang jika ditilik lebih lanjut, poin-poin dan butir-butir isi perjanjian tersebut secara kasat mata amat merugikan umat Islam.
Namun Nabi berani mengesampingkan itu semua. Demi tersebarnya Islam tanpa peperangan.
Seperti bisa kita rasakan, suasana ketika stempel perjanjian Hudaibiyah ditekan oleh kedua kubu, seolah tak ada rasa puas di raut hampir seluruh wajah para sahabat. Dari keterangan para saksi sejarah, para sahabat hampir semua nampak kecewa. Bahkan termasuk sahabat Umar RA. Yang bahkan sampai berkata, ...
Sahabat Abu Bakar RA lah, yang tak goyah sedikitpun. Raut wajah beliau tetap yakin kalau langkah yang diambil Nabi Muhammad Saw sudah sangat benar. Beliau tak sedikitpun nampak kecewa.
Dalam perjanjian Hudaibiyah, Nabi mengesampingkan simbol Islam demi tercapainya tujuan mulia. Dikisahkan, beliau menghapus tulisan "Rasulullah" yang tertera dalam kertas perjanjian. Meskipun sahabat Ali RA selaku katib hampir tidak berkenan menghapusnya.
Suatu hal yang akhir-akhir ini sering kita lupakan. Betapa takbir, bahkan atribut yang begitu nampak identik dengan Islam disalahkan artikan. Fenomena suram, bahwa kita begitu menghargai simbol. Lebih dari apapun. Dan mengesampingkan inti dakwah Islam sebenarnya.
Hal tersebut berbanding terbalik dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah dalam peristiwa perjanjian Hudaibiyah. Hal tersebut juga berbanding terbalik dengan apa yang diajarkan sesepuh pendakwah Islam di tanah Jawa.
Kita masih bisa melihat, betapa masjid-masjid peninggalan beliau-beliau tidaklah mirip bentuknya dengan simbol Islam apapun. Justru bentuknya lebih mirip tempat ibadah agama kuno di Jawa.
Kita masih bisa lihat, betapa saksi sejarah di kota Kudus menceritakan, sulit menemukan daging sapi disana. Sebab dulu, meskipun binatang sapi adalah selaku simbol Islam dalam kurban, tapi sapi dilarang disembelih demi menghargai perasaan penduduk yang mengkeramatkannya.
Tapi bagus jika simbol dan intisari ajaran Islam itu bisa berkolaborasi dengan baik tanpa cela. Tanpa ada salah paham. Tanpa ada kalau istilahnya kerennya, mafsadah. Kita bisa menggunakan simbol itu untuk syiar. Tapi jika tidak, harus ada yang dikorbankan tentunya.
Dan jangan sampai yang dikorbankan adalah ajarannya. Intisarinya. Tujuannya. Tidak perlu bilang pada semua orang, ini bunga asli. Mereka akan tahu dengan sendirinya. Tapi bunga imitasi, meskipun sudah dipromosikan keasliannya, tetap saja orang masih yakin jika itu palsu.
Sebenarnya ingin mencantumkan sedikit dalil juga, semacam kaidah fikih  yang berbunyi ...
Berikut penjelasannya. Tapi sungkan saja. Bukan ahlinya. Akhir-akhir ini saya sering berfikir kalau orang mungkin akan lebih enak membaca tulisan yang sederhana. Biarlah hal yang rumit-rumit dinikmati buat diri sendiri saja. Yang penting intinya sudah lega bisa saya tuliskan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H