Kemarin iseng-iseng nonton TV9. Dan nulis ini dari salah satu sekmen acara. Cuma catatan kecil. Tapi menurut saya ini penting sekali. Karena bahkan orang NU seperti saya sendiri, kadang tidak tahu. TV9 sebenarnya acaranya bagus-bagus dan edukatif. Tapi orang NU sendiri malah jarang yang ngurip-urip. Banyak yang lebih tertarik nonton acara televisi sebelah.
***
Semua berawal saat itu. Ketika menjelang tahun 1983 M. Waktu itu dengan tegas presiden Soeharto mendesak pancasila dijadikan sebagai asas tunggal semua ormas.
Ini sebenarnya masalah yang kompleks. Sudah lama Indonesia tidak bisa berkembang karena warganya masih silang pendapat dalam masalah ideologi. Ada orang yang ingin paham sekuler. Ada yang ingin membentuk negara berasas Islam. Ada yang ingin kebebasan. Bagaimana mau bersatu membangun negeri, kalau bangsa sendiri saja masih tukaran? Maka ini perlu segera diselesaikan.
Saat itu baru usai sidang lima tahunan MPR. Konstitusi mungkin tidak sama dengan hari ini, jadi MPR kembali memilih Soeharto sebagai presiden. Lalu Soeharto berpidato di kota Riau sekitar awal tahun 1983 M. Silahkan bisa dilacak kembali isi pidato Soeharto saat itu. Sekarang sudah ada YouTube, jadi semua sudah bisa didokumentasikan bagi yang kurang percaya. Atau sekedar penasaran. Diantara isi pidato Soeharto kala itu, adalah mendesak agar pancasila dijadikan sebagai dasar dan diakui seluruh ormas.
Namun kebijakan itu tidak nampak sederhana untuk dijalankan. Karena banyak pihak menaruh curiga. Banyak pihak takut nantinya pancasila malah dijadikan alat. Untuk menjerumuskan lawan politik. Menundukkan pihak yang menentang kebijakan yang menguntungkan orde baru. Yang khawatir bukan saja organisasi Islam, organisasi agama lain juga ikut resah. Tidak mau nantinya pancasila sampai dijadikan "agama".
"Masalahnya di tangan Soeharto Pancasila bukan hanya dimanfaatkan sebagai ideologi negara. Tapi juga alat untuk mengontrol dan merepresi lawan politik." Demikian penggalan narator televisi TV9 bicara.
Bahkan Gus Dur yang saat itu menjabat ketua tanfidziyah PBNU mendapatkan informasi, jikalau ormas yang menolak pidato Seoharto di Riau itu akan dipaksa. Sampai menurut.
Memang dialektika agama dan negara sudah lama menjadi isu. Terlebih saat masa awal kemerdekaan. Ketika Indonesia baru saja lahir, dan masih butuh arah untuk menentukan haluan. Para founding father NKRI menjadikan Indonesia sebagai negara republik. Yang menjamin kebebasan beragama, dan menjamin kebersatuan dari ragam perbedaan.Â
Apalagi kita ingat, tokoh NU juga terlibat langsung dalam pembentukan janin bangsa. KH. Wahid Hasyim, kita tahu adalah salah satu anggota panitia sembilan. Dan dalam banyak kisah, kita temukan bahwa presiden Soekarno sering bolak-balik sowan para sesepuh NU, untuk minta pendapat.
Singkat cerita, setelah melalui pergolakan panjang, jadilah piagam Jakarta. Yang kemudian menjadi dasar lahirnya pancasila. Kala itu Soekarno meminta, agar jangan lagi ada perdebatan. Mohon semua pihak bersikap legowo, dan menerima. Agar Indonesia bisa segera bersatu dan mulai membangun bangsa. Agar rakyatnya bisa hidup sejahtera.
Lambat laun isu agama dan negara memudar. Banyak isu-isu lain yang lebih panas merebak. Seiring berjalannya waktu, isu ini semakin tenggelam. Dan baru kembali mencuat setelah Soeharto mendesak pancasila dijadikan sebagai asas tunggal seluruh organisasi. Sekitar tahun 1983 M.
Para kiai berdiskusi panjang. Ada prasangka buruk dengan pemerintahan otoriter Soeharto. Tentu anda yang mengalami masa itu lebih tahu bagaimana suasananya. Apalagi waktu itu, baru saja seluruh partai Islam dipaksa berfusi kedalam satu partai tunggal. Partai Persatuan Pembangunan, PPP.
Gus Dur selaku ketua tanfidziyah PBNU segera merespon pidato Soeharto tersebut, dan beliau bergegas sowan kepada KH. Ali Maksum, yang menjabat rais syuriah saat itu.
Gus Dur memberikan usul, agar segera dibentuk semacam komite. Yang bertugas untuk bermusyawarah membahas posisi NU dan Pancasila.
Akhirnya usul beliau disetujui. Dibentuklah sebuah komite. Dengan KH. Ahmad Shidiq sebagai ketua, dan Gus Dur sebagai sekretaris.
Kiai-kiai dan ulama NU kemudian mengadakan musyawarah panjang serta teliti, yang berlangsung hingga lima bulan. Tepatnya selama Juni hingga Oktober. Digali referensinya dari Al-Qur'an, hadis dan kitab mu'tabar sebagai dasar pijakan. Bagaimana nanti harus memutuskan tentang hukum, bahwa apakah NU akan menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Perdebatan begitu hangat, ada yang pro dan kontra.
Gus Dur kemudian membuat rekomendasi. Lewat Mensesneg Moerdiono, Gus Dur mengajukan tawaran redaksional yang masuk akal kepada Soeharto. Bahwa NU berasaskan pancasila. Dengan tujuan membentuk masyarakat Islam. "NU berasaskan pancasila dengan menegakkan takwa kepada Allah melalui pelaksanaan agama Islam." Namun hal tersebut tetap ditolak oleh Soeharto.
Dalam suasana negosiasi yang buntu itulah, sekitar September 1983 M, KH. As'ad Syamsul Arifin turun tangan langsung. Beliau bertemu Soeharto di Jakarta. Sambil meminta izin pelaksanaan muktamar di Situbondo. Di pesantren beliau. Kiai As'ad dan Soeharto juga berbincang secara pribadi.
"Apakah sila pertama ketuhanan yang maha esa itu sudah benar-benar mengakui tauhid?" Tanya kiai As'ad.
"Sudah". Soeharto mengangguk dan mengiyakan, di hadapan kiai yang sangat dihormati dan diseganinya ini.
Singkatnya, kemudian Kiai As'ad meminta kepada KH. Ahmad Shidiq, untuk membuat pernyataan redaksional argumentatif tentang penerimaan pancasila. Dalam membuat kesimpulan tersebut, KH. Ahmad Shidiq senantiasa bermusyawarah kepada kiai-kiai besar. Seperti KH. Mahrus Ali, KH Ali Maksum, serta tokoh-tokoh kiai sepuh NU lain.
"Pancasila dan Islam adalah dua hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan jangan dipertentangkan."begitulah kira-kira rumusan redaksi yang ditulis KH. Ahmad Shidiq.
Semua hasil Munas di Situbondo tahun 1983 M tersebut akhirnya disahkan dalam muktamar di Situbondo tahun berikutnya. Kita masih bisa membaca hasil muktamar tersebut hari ini. Keputusan NU saat itu tentu saja sangat fenomenal. Sangat penuh kontroversi. Namun pada akhirnya banyak ormas keagamaan yang lantas berterima kasih kepada ijtihad ulama NU. Termasuk ormas lintas agama. Hingga kemudian dibentuk menjadi undang-undang yang sah tahun 1985 M, semua tidak lain dan tidak bukan, ada jasa ulama NU.
***
Ini diluar semua itu. Hanya sekedar menurut hemat saya pribadi, seandainya ada orang NU kok tidak sejalan dengan keputusan Munas dan muktamar Situbondo tersebut, itu suuladab namanya. Tidak menghormati musyawarah, keputusan, serta ijtihad yang sudah diambil dan disetujui oleh kiai-kiai besar seperti KH. As'ad Syamsul Arifin, KH. Ali Maksum, KH. Mahrus Ali, dan sesepuh NU lain. Wes ora usum tukaran bilang Pancasila begini begitu, kalau mau lebih jelas tak usah berdebat. Cukup menggali sejarah. Saat ini sudah waktunya bersatu, membangun bangsa ini.
Wallahu a'lam.
Mohon dikoreksi.
Kamis, 27 Februari 2020 M.
Catatan melawan lupa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H