Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

NU, Pancasila, dan Soeharto

21 Agustus 2020   06:42 Diperbarui: 21 Agustus 2020   07:20 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lambat laun isu agama dan negara memudar. Banyak isu-isu lain yang lebih panas merebak. Seiring berjalannya waktu, isu ini semakin tenggelam. Dan baru kembali mencuat setelah Soeharto mendesak pancasila dijadikan sebagai asas tunggal seluruh organisasi. Sekitar tahun 1983 M.

Para kiai berdiskusi panjang. Ada prasangka buruk dengan pemerintahan otoriter Soeharto. Tentu anda yang mengalami masa itu lebih tahu bagaimana suasananya. Apalagi waktu itu, baru saja seluruh partai Islam dipaksa berfusi kedalam satu partai tunggal. Partai Persatuan Pembangunan, PPP.

Gus Dur selaku ketua tanfidziyah PBNU segera merespon pidato Soeharto tersebut, dan beliau bergegas sowan kepada KH. Ali Maksum, yang menjabat rais syuriah saat itu.

Gus Dur memberikan usul, agar segera dibentuk semacam komite. Yang bertugas untuk bermusyawarah membahas posisi NU dan Pancasila.

Akhirnya usul beliau disetujui. Dibentuklah sebuah komite. Dengan KH. Ahmad Shidiq sebagai ketua, dan Gus Dur sebagai sekretaris.

Kiai-kiai dan ulama NU kemudian mengadakan musyawarah panjang serta teliti, yang berlangsung hingga lima bulan. Tepatnya selama Juni hingga Oktober. Digali referensinya dari Al-Qur'an, hadis dan kitab mu'tabar sebagai dasar pijakan. Bagaimana nanti harus memutuskan tentang hukum, bahwa apakah NU akan menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Perdebatan begitu hangat, ada yang pro dan kontra.

Gus Dur kemudian membuat rekomendasi. Lewat Mensesneg Moerdiono, Gus Dur mengajukan tawaran redaksional yang masuk akal kepada Soeharto. Bahwa NU berasaskan pancasila. Dengan tujuan membentuk masyarakat Islam. "NU berasaskan pancasila dengan menegakkan takwa kepada Allah melalui pelaksanaan agama Islam." Namun hal tersebut tetap ditolak oleh Soeharto.

Dalam suasana negosiasi yang buntu itulah, sekitar September 1983 M, KH. As'ad Syamsul Arifin turun tangan langsung. Beliau bertemu Soeharto di Jakarta. Sambil meminta izin pelaksanaan muktamar di Situbondo. Di pesantren beliau. Kiai As'ad dan Soeharto juga berbincang secara pribadi.

"Apakah sila pertama ketuhanan yang maha esa itu sudah benar-benar mengakui tauhid?" Tanya kiai As'ad.
"Sudah". Soeharto mengangguk dan mengiyakan, di hadapan kiai yang sangat dihormati dan diseganinya ini.

Singkatnya, kemudian Kiai As'ad meminta kepada KH. Ahmad Shidiq, untuk membuat pernyataan redaksional argumentatif tentang penerimaan pancasila. Dalam membuat kesimpulan tersebut, KH. Ahmad Shidiq senantiasa bermusyawarah kepada kiai-kiai besar. Seperti KH. Mahrus Ali, KH Ali Maksum, serta tokoh-tokoh kiai sepuh NU lain.

"Pancasila dan Islam adalah dua hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan jangan dipertentangkan."begitulah kira-kira rumusan redaksi yang ditulis KH. Ahmad Shidiq.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun