Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"The Pianist", Adolf Hitler, dan Orang-orang Baik

17 Maret 2020   06:00 Diperbarui: 17 Maret 2020   06:13 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari itu, tahun 1945. Bangunan hancur ada dimana-mana. Kota ini benar-benar kota mati. Hampir tak ada tanda-tanda kehidupan. Sekali lagi, Polandia dicabik negara lain. Teritorialnya dikuasai bangsa asing. Lagi dan lagi. Posisi Polandia memang sangat tidak menguntungkan. Orang Polska, sebutan asli buat nama Polandia, terjepit diantara ambisi banyak raja-raja di Eropa. Mulai zaman invasi Mongolia, hingga era Napoleon Bonaparte, Tsar Rusia, bahkan perang dunia, pertama dan kedua. Polandia seperti tak pernah absen untuk "terpaksa" terus dan terus berperang.

Malam itu, Wladyslaw Szpielman, sudah sangat kelaparan. Ia lama bersembunyi di atap sebuah rumah yang hancur. Dia sudah lelah sembunyi dan terus sembunyi. Nasib mungkin tak akan baik jika dia berani menampakkan diri di bawah matahari. Polisi militer, atau yang lebih dikenal dengan Schutzstaffel (disingkat SS) akan membunuhnya. 

Malam itu Szpielman turun dari persembunyiannya. Dia berusaha untuk membuka sebuah kaleng makanan yang ditemukan. Dan tak sengaja, usahanya membuka kaleng memancing suara. Kaleng itu jatuh menggelinding, ke bawah kaki seorang perwira Wehrmacht. Perwira itu mendekat, dan memandang iba. Szpielman mungkin berpikir inilah akhir hidupnya. Mati ditembak tentara Jerman.

Dia sudah benar-benar pasrah. Meskipun memegang sebuah besi, yang tadinya dipakai untuk membuka kaleng, dia tak berminat melawan. Dia lebih memilih untuk diam. Dan mungkin menurut, atas takdir yang memilih malam itu.

Namun Szpielman sedang beruntung malam itu. Si perwira merasa kasihan kepada Szpielman, melihat keadaan Szpielman yang sangat menyedihkan. Kurus kering, rambut acak-acakan, jenggot lebat, serta baju lusuh. Perwira tersebut sama sekali tak memiliki niat membunuh Szpielman. Dia bertanya kepada Szpielman, kamu seorang Yahudi? Szpielman tak menjawab. Apa pekerjaanmu? Pianis. Seorang pianis? Mainkan sebuah lagu untukku.

Perwira itu menuntun Szpielman ke sebuah ruangan. Disana sudah ada sebuah piano yang tidak rusak. Tak ada kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan Szpielman malam itu. Piano adalah hidupnya. Dia sering bermain di radio Warsawa. Sayang harus dia tinggalkan, semenjak perang meletus. Seluruh kehidupan normalnya, seluruh keluarganya.

Kita bisa melihat betapa rindunya Szpielman memainkan piano. Meskipun lama tak menyentuh not, dengan lentik dia masih dapat memainkan sebuah lagu. Ballade in G minor, ciptaan komposer terkenal, Chopin. Lagu yang begitu menyentuh emosi. Disinilah si Perwira mendengarkan dengan perasaan kagum. Atau lebih tepatnya mungkin, perasaan iba.

Esoknya, dia kembali datang. Naik, mencarinya ke loteng. Dan membawakannya sebuah makanan lezat.

***

Itu adalah salah satu adegan klimaks di film The Pianist karya Roman Raymond Polaski. Film itu menggambarkan diskriminasi Jerman dalam masa pendudukan di Polandia.

Wladyslaw Szpielman, tokoh utama dalam kisah itu adalah figur nyata. Dia keturunan Yahudi. Jadi dia dan seluruh keluarganya benar-benar mengalami masa pahit. Saya tidak akan berpanjang cerita tentang Holocaust. Sudah cukup. Rasa sedih itu, tak perlu diingatkan lagi.

Dan perwira Jerman yang menolongnya adalah Wilhelm Adalbert Hosenfeld. Tokoh ini juga nyata. Dalam kehidupan aslinya, orang inilah yang menolong Szpielman. Dia adalah tentara Jerman yang profesional. Dia tidak membunuh warga sipil. Dia bahkan tidak membunuh orang Yahudi. Justru selama dinasnya, dia sering membantu masyarakat Polandia, dan membantu orang Yahudi, menggunakan pengaruhnya sebagai seorang perwira. Dia, selain perwira tentara juga pernah menjadi anggota partai Nazi. Tapi membenci gagasan partainya sendiri. Mungkin dia malu pada negaranya sendiri, melihat kelakuan para polisi militer, Schutzstaffel membantai orang Yahudi.

Disinilah orang sering salah paham. Menyebut kaum militer sebagai tentara Nazi. Dan menganggap seluruh tentara Nazi adalah pria jahat. Jika kita tahu seluk beluk perang dunia kedua, lebih baik tidak menyebut tentara angkatan bersenjata Heer dengan sebutan tentara Nazi. Banyak literatur menyebutkan, kalau mereka sendiri sebetulnya benci disebut sebagai tentara Nazi. Nazi adalah partai, dan mereka adalah angkatan bersenjata. Dua hal yang berbeda. Yang lebih pantas disebut tentara Nazi adalah pasukan Schutzstaffel. Gestapo. Dan polisi militer. Banyak dari angkatan bersenjata yang berperang dengan gagah berani. Mengorbankan nyawa untuk Jerman. Bukan untuk Adolf Hitler.

Bayangkan jika anda hidup di suatu negara, yang terlibat peperangan. Sebagai ksatria, anda mengangkat senjata tidak karena ambisi pemimpin yang ingin menguasai dunia, atau memusnahkan sebuah ras tertentu. Tapi anda semata berperang untuk negara. Ada nyawa rakyat di negeri anda yang harus dilindungi, agar tidak ditawan musuh. Seperti itu, kiranya prinsip yang dipegang oleh para jenderal profesional Jerman.

Masih ada jenderal yang berharap pada Hitler, karena memang hanya Hitler yang bisa membuat Jerman lebih baik pada saat itu. Orang-orang seperti marsekal Erwin Rommel, mungkin termasuk diantara yang masih percaya. Masih berpikir Hitler sebenarnya pemimpin yang "baik", buktinya sangat nyata pasca Hitler didaulat menjadi kanselir. 

Jerman benar-benar berubah, dari bangsa yang miskin, hancur lebur, menjadi berjaya kembali. Hebatnya, itu dilakukan dalam waktu sangat singkat, sekitar 10 tahun. Tak ada kiranya saat itu, orang lain yang bisa melakukan hal tersebut selain Hitler. Hanya saja dia dikelilingi oleh orang-orang jahat di sekitarnya. Yang meracuni pikirannya. Hitler benar-benar hebat dalam membangun kembali bangsa Jerman yang hancur, itu adalah fakta.

Tapi ada juga yang tidak berpikir demikian, faktanya juga banyak sekali jenderal yang muak dengan kepemimpinan Adolf Hitler. Seolah-olah semua malapetaka ini bersumber dari ambisinya yang berlebihan. Kalau bukan karena sumpah setia pada Republik Weimar, kalau bukan karena rakyat, mungkin para jenderal ini sudah mengundurkan diri.

Sebelumnya pihak militer merasa penuh harap, dengan lahirnya partai Nazi. Bisa mengangkat rakyat dari keterpurukan krisis ekonomi. Perselisihan antara sesama bangsa yang terhimpun dalam sektarian partai tidak ada lagi, seiring adanya ideologi partai tunggal. Tidak ada lagi perseteruan antara komunis dan nasionalis. Seperti kondisi pasca perang dunia pertama.

Seluruh penduduk Jerman, termasuk para jenderal pada awalnya bangga dengan Adolf Hitler, yang berhasil membuat perekonomian membaik. Bahkan maju. Membuat kebijakan yang menguntungkan rakyat. Mengatasi pengangguran yang merajalela. Membangun salah satu ide tentang akses jalan tol pertama di dunia. Orang Jerman bahkan sampai mendewakan Hitler, karena dia adalah figur yang bisa menyatukan Jerman. Dan membuat Jerman yang porak poranda dalam semua hal setelah kalah perang dunia pertama, bisa jadi bangsa yang hebat lagi.

Awalnya semua orang kagum dengan Adolf Hitler. Tapi kekaguman itu tak bertahan lama. Setelah dia dan yang lain ternyata menyeret Jerman dalam perang, masyarakat yang awalnya menaruh hormat, berbalik membencinya. Jenderal yang awalnya kagum, berbalik memusuhi. Walaupun hal ini tak bisa diungkapkan secara langsung, sebab kedisiplinan militer menuntut mereka untuk patuh kepada setiap keputusan atasan. Banyak dari mereka, yang berperang dengan setengah hati. Sebab mau tidak mau memang harus dilakukan. Hanya ada dua pilihan, jadi pengecut atau jadi ksatria.

Kita bisa melihat kisah salah seorang perwira Jerman yang memilih bertindak. Dia merencanakan pembunuhan atas Adolf Hitler. Agar perang bisa segera berakhir. Perwira itu, kolonel Claus von Stauffenberg merencanakan plot 20 Juli bersama banyak kawan perwira yang lain. Beberapa hari sebelum tanggal 20 Juli, kolonel itu masih kedapatan dalam sebuah foto, menemui Hitler dengan wajah ramah. Bersalaman bersama perwira lain. Namun dalam hati, mungkin dia sudah menahan muak tak tertahankan lagi, hingga sampai ke ubun-ubun.

Kita juga bisa membaca kisah jenderal Helmuth Weidling. Komandan pertahanan  kota Berlin yang terakhir, sebelum menyerah kepada tentara merah. Ketika dia turun ke fuhrer bunker untuk melapor, dia diberi tahu kalau Hitler belum lama bunuh diri. Dengan perasaan amat jengkel, kesal, mendongkol, marah, semua tumpah campur aduk kepada Hitler. Dia bersama anak buahnya yang diatas sana gagah berani mempertaruhkan nyawa, malah ditinggal mati bunuh diri di persembunyian. Konon, dia umumkan kepada anak buahnya, untuk tidak lagi memegang sumpah setia kepada Hitler. Sumpah setianya sudah tak berlaku lagi.

Selamat pagi...

05 Maret 2020 M.
Tak ada catatan untuk hari ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun