Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Tentang Trilogi "Ronggeng Dukuh Paruk"

16 Maret 2020   07:04 Diperbarui: 16 Maret 2020   07:26 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dalam membuat pertokohan, Ahmad Tohari begitu cerdik menyematkan nilai. Sakum mungkin salah satunya. Sakum digambarkan sebagai seorang buta sejak lahir. Namun dibalik kebutaan yang menjadi penghalangnya untuk menatap semesta, Sakum memiliki kejelian yang hampir tak dimiliki orang normal manapun. Ketajaman naluri saat melihat pergerakan situasi. Kelebihan akan pengolahan sumberdaya indra penciuman dan pendengaran yang hampir membuatnya sama seperti orang lain yang bisa melihat. 

Dia juga digambarkan mampu menyentuh nurani seorang insan, saat menasihati mereka dengan pengalaman masa lalunya yang kenyang. Dia menjadikan masa lalu sebagai pembanding untuk bersikap lebih hati-hati di masa depan. Kegembiraan yang diramalkan tak bertahan lama, karena adat dan kebiasaan memang dalil yang tak pernah dusta. Menihilkan kekhawatiran dalam kondisi kritis, sebab dari segala peristiwa yang lalu, saat genting tentu adalah sisi kehidupan yang tak berdiri sendiri. 

Dia hadir bersama rangkaian lain yang saling berkesinambungan. Seperti falsafah tentang gelap terang dan sedih bahagia. Dua sisi mata uang itu niscaya keberadaannya. Sebab segala sesuatu biasanya tak akan berada jauh dari kebalikannya. "Duh, Pangeran, kehidupan ini penuh manusia. Tetapi mengapa aku tinggal seorang diri?"

Sebuah percakapan ganjil amat kentara. Bagaimana mungkin, karena nasihat bijak tentang nilai-nilai budi luhur ternyata bisa keluar dari siapa saja. Bahkan seorang tukang sihir yang biasa merenggut nyawa orang. Maka disinilah Ahmad Tohari hadir, dalam cerita yang mencampur adukkan kenyataan. 

"Ah, ya! Mestinya semua orang seperti sampean; tak usah ragu mengubah pikiran bila disadari pikiran yang dimaksud tidak baik. Mengapa masih saja orang datang kemari dengan tujuan mencari pelampiasan dendam, bahkan kadang hanya karena rasa iri terhadap sesama. Mereka mengira dengan melampiaskan dendam maka urusannya selesai. Nah, mereka keliru. Dengan cara itu bahkan mereka memulai urusan baru yang panjang dan lebih genting. Di dunia ini, Nak, tak ada sesuatu yang berdiri sendiri. Maksudku, tak suatu upaya apa pun yang bisa bebas dari akibat. Upaya baik berakibat baik, upaya buruk berakibat buruk. Lebih aneh lagi, Nak. Orang yang sudah tahu akan akibat buruk tetapi masih juga berani mengambil risiko."

Dan mengapa harus cerita tentang ronggeng? Nampaknya Ahmad Tohari ingin menyadarkan kepada kita sisi kehidupan yang gelap. Bahwa hidup yang nampak paling bahagia sekalipun punya air mata. Sebab dalam beberapa bagian juga digambarkan kerinduan seorang ronggeng untuk menjadi seperti wanita biasa lainnya. Naluri memiliki seorang bayi. Naluri untuk dicintai. Naluri untuk menjadi duta wanita bagi seorang suami, alih-alih seluruh laki-laki. 

"Mengapa ada kemolekan di tengah kemelaratan, kini Tamir menghadapi pertanyaan baru: mengapa ada kegemerlapan di bawah atap ilalang. Hati Tamir berdesir tak menentu. Dan bimbang, mengapa ada keramahan diiringi mata yang berkaca-kaca." Menghentak bahwa kebahagiaan bisa ada dimanapun. Bahkan ditengah kehidupan yang dikelilingi gelombang bara api. Dan kesedihan bisa hadir dimanapun. 

Bahkan di balik kemegahan sebuah istana berlapis jamrud intan berlian. Memang, rasa-rasanya kepuasan hanya bisa hadir saat wayang mau nerimo ing pandum. Meskipun didasarkan pada kenyataan hanya hidup dibawah gubuk reot dengan satu-satunya perabot berupa sebuah lincak doyong, sebagai tempat nyaman untuk tidur dan terjaga.

Saya masih jauh dari kecakapan untuk menerjemahkan apa yang hendak disampaikan Ahmad Tohari. Maka bacalah sendiri. Mungkin akan banyak anda temukan nilai-nilai yang luput dari pandangan mata saya sendiri. Semua orang punya cita rasa dan nuansa berbeda-beda saat membaca buku. Karena pengalaman hidup semua orang berbeda. Maka suasana dan kesimpulan yang tercipta tidak akan sama. Meskipun buku yang dibaca adalah buku yang sama.

Lepas dari itu semua. Menjadi saleh atau bromocorah sekalipun, kita hanyalah manusia. Lepas dari segala tipu daya setan, dan segala kisah kelam, maka penjahat terkejam sekalipun hanya tak ubah memiliki arti sama seperti kita semua, seorang manusia. Dan manusia bukanlah hakim. Yang bisa menentukan surga neraka. 

Dari atas langit, manusia hanya nampak menjadi seperti barisan semut tanpa banyak arti. Tak perlu memandang saudara kita yang salah dengan marah. Sebab seharusnya ada rasa kasihan. Sebab semua orang berhak bahagia. Nilai-nilai tentang perilaku terpuji memang tidak melulu datang dari ajaran tentang agama. Sebab perampok juga tahu apa itu belas kasih. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun