Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Tentang Trilogi "Ronggeng Dukuh Paruk"

16 Maret 2020   07:04 Diperbarui: 16 Maret 2020   07:26 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Ketika anda tiba-tiba ingin membaca puisi dan sebuah novel sekaligus, maka bacalah karya Ahmad Tohari. Salah satu yang paling legendaris dan tak lekang oleh waktu adalah kisah Ronggeng Dukuh Paruk. Bagaimana novel trilogi itu berubah menjadi bacaan wajib bagi penikmat sastra adalah kisah yang segera terbaca. Trilogi ini menjadi semacam tempat kembali, bagi yang lelah dengan kisah kehidupan yang penuh fantasi dan hingar bingar.

Meskipun sudah beberapa tahun saya selesai menamatkan ceritanya, namun tiba-tiba muncul kerinduan akan dongeng Ahmad Tohari itu. Seberkas yang saya ingat dulu, saya masih merasa belum cukup umur dalam segala hal ketika membaca Ronggeng Dukuh Paruk. Belum cukup umur dalam ceritanya yang dengan tak sungkan menggambarkan kehidupan orang dewasa senyata mungkin. Belum cukup umur untuk menikmati bahasa yang begitu mendayu. 

Belum cukup umur untuk mengerti segala falsafahnya. Belum cukup umur untuk mengikuti peristiwa sejarahnya. Dan belum cukup umur untuk sadar, betapa yang digambarkan dalam Ronggeng Dukuh Paruk adalah sisi kehidupan sehari-hari, yang begitu jauh dari pemahaman mendasar kita akan kesejahteraan pasca kemerdekaan. Entahlah, berapa banyak kata belum cukup umur lain yang bisa dituliskan. Mungkin saya bisa meneruskannya seharian.

Ronggeng Dukuh Paruk adalah pengingat, saat hari-hari pertama saya mulai mengenal buku. Dulu saya tidak pernah muluk-muluk mengartikan hobi membaca. Cukup kiranya masa kecil terpuaskan dengan buku gambar atau kisah Doraemon. Tapi saat saya mulai mengenal Ahmad Tohari, saya mulai mengenal nama-nama lain. Andrea Hirata dengan tetralogi Laskar pelangi. Dewi Lestari dengan Supernova. Atau bahkan Emha dengan Markesotnya. Baru sedikit. Karena buku yang bisa saya selesaikan hanya baru bisa dihitung dengan jari.

Saya tidak hadir untuk menghakimi. Tapi sekedar menikmati. Maka pada beberapa bagian saat rangkap cerita nampak tak seimbang, tak perlu acuh. Saat dalam beberapa halaman ritme cerita terlalu cepat, atau terlalu lambat, saya cukup berbaik sangka. Mungkin itu termasuk "belum cukup umur" lain yang tidak saya mengerti. Maka mungkin saya harus nostalgia dengan buku ini suatu hari nanti. Lima, sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Saat visi misi zaman mungkin sudah kembali berubah.

Dalam beberapa bagian, Ronggeng Dukuh Paruk mengajak berasyik masyuk dalam falsafah kehidupan yang mendalam. Hal-hal yang hanya mampu dimengerti oleh orang tua. Pemahaman yang bila kita cari tak mungkin kita temukan dalam buku manapun. Seperti saat berkisah tentang pergeseran zaman. Zaman yang silih berganti tak ubah seperti nilai yang terkandung dalam sebuah ayunan. Ayunan? Yah, sebuah ayunan yang selalu bergerak maju mundur. 

Bila diamati baik-baik, ayunan akan selalu bergerak maju ke kanan atau ke kiri. Jika diibaratkan maju ke kanan adalah makna untuk hitam. Maka ke kiri adalah makna putih. Dan dalam sebuah pergeseran zaman, akan selalu ada yang kalah dan terhempas. "kehidupan tidak maju ke depan dalam lintasan lurus, melainkan maju sambil mengayun ke kiri dan ke kanan dengan jarak yang sama jauhnya. Padahal nurani kehidupan tak pernah sekali pun bergeser dari kedudukannya di tengah. Apabila ayunan ke kanan bercorak hitam misalnya maka ayunan ke kiri dalam banyak hal adalah kebalikannya, putih."

"Maka Dukuh Paruk dan Srintil sendiri tidak akan mengerti bahwa mereka adalah korban yang jatuh ketika kehidupan mencapai puncak ayunan ke kiri dan kemudian hendak berbalik ke kanan. Ketika itulah terjadi pergeseran dan penjungkirbalikan nilai dan tatanannya. Andaikan nilai lama bisa bertahan bahkan menang maka ayunan ke kanan tertunda, Dukuh Paruk bisa selamat. Namun yang terjadi di tahun 1965 itu adalah kekalahan nilai dan tatanan lama. Nilai baru yang sesungguhnya selalu laten dan potensial muncul dengan gempita."

"Pengetahuan semacam itu bagi orang Dukuh Paruk adalah ngelmu, bukan ilmu. Pemahamannya tidak pernah menjadikan orang di sana sampai kepada pengetahuan praktis. Tak pernah membumi dan selalu dibungkus dengan pandangan-pandangan mistik."

Dan Ahmad Tohari adalah pendongeng ulung yang pandai membuat perumpamaan. "Perempuan adalah bubu yang bila sudah dipasang hanya bisa menunggu ikan masuk. Selamanya bubu tak akan mengejar ikan atau memaksanya masuk ke dalamnya."

Ahmad Tohari juga orang yang dengan tidak menggurui, tapi membuat kita terpekur dan termangu-mangu saat sampai di paragraf singkat ini. "Hatiku bertembang pada kesadaran jiwa yang amat dalam. Hidup pribadiku tentulah sangat kecil bila dibandingkan dengan besar dan luasnya totalitas kehidupan. Namun dalam kekecilan hidupku aku merasa telah menemukan sebuah makna. Memang tidak gemerlap. Tetapi dia akan sangat berharga bila suatu ketika diriku sendiri bertanya, apakah yang sudah kuperbuat dalam hidupku yang bersahaja ini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun