Malam itu, hujan turun dengan derasnya, diiringi gelegar petir yang memekakkan telinga. Aku baru saja tiba di sebuah rumah tua peninggalan almarhum kakekku. Rumah itu berada di tengah hutan kecil yang sepi, jauh dari keramaian. Tujuanku sederhana, hanya ingin menghabiskan malam di sana untuk mengenang masa kecilku.
Ketika membuka pintu, udara dingin langsung menyergap. Bau kayu tua dan debu memenuhi hidungku. Lampu-lampu di rumah itu masih berfungsi meski cahayanya redup, memberikan kesan suram. Aku mencoba tak menghiraukannya, menyimpan barang-barangku di ruang tengah, lalu menyalakan perapian agar suasana sedikit hangat.
Namun, rasa aneh mulai muncul ketika aku masuk ke kamar utama. Di dinding kamar itu, ada sebuah cermin besar yang sudah buram oleh waktu. Ketika pandanganku terpaku pada cermin itu, aku merasa ada yang tidak beres. Sekilas, aku melihat bayangan hitam melintas di belakangku. Aku langsung berbalik, tapi tidak ada siapa-siapa.
"Ah, hanya bayangan dari nyala api," pikirku mencoba menenangkan diri. Tapi rasa gelisah itu tidak hilang.
Malam semakin larut, dan hujan di luar belum juga reda. Aku duduk di depan perapian sambil membaca sebuah buku tua yang kutemukan di rak. Namun, setiap beberapa menit sekali, aku mendengar suara langkah kaki dari lantai atas. Langkah itu berat, menyeret, seolah-olah seseorang sedang berjalan tanpa semangat.
"Apa mungkin rumah ini masih menyimpan tikus besar?" gumamku sambil menggertakkan gigi.
Aku memutuskan untuk mengeceknya. Dengan membawa senter, aku menaiki tangga tua yang berderit. Di lantai atas, hanya ada dua kamar kecil. Kamar pertama kosong, hanya dipenuhi perabotan tua yang berdebu. Namun, saat aku mendekati kamar kedua, hawa dingin menusuk langsung menyelimuti tubuhku.
Dengan perlahan, aku membuka pintu kamar itu. Di dalamnya, tidak ada apa-apa selain cermin lain yang lebih besar dan tampak jauh lebih bersih daripada yang ada di lantai bawah. Aku melangkah masuk, memeriksa ruangan, namun tiba-tiba suara pintu tertutup dengan keras di belakangku.
Aku tersentak dan menyorotkan senter ke sekeliling ruangan. Di cermin, aku melihat sosok hitam tinggi berdiri tepat di belakangku. Tubuhnya kurus kering, wajahnya samar tertutup bayangan, dan matanya... ya Tuhan, matanya merah menyala.
Aku berbalik dengan panik, tapi tidak ada siapa-siapa. Ketika aku kembali menatap cermin, sosok itu kini semakin dekat. Aku bisa merasakan napasnya di tengkukku meskipun tidak ada apa pun di ruangan itu.
Aku berlari menuruni tangga, tapi langkahku terasa berat. Seolah-olah kakiku sedang ditarik sesuatu yang tak kasat mata. Sesampainya di ruang tengah, cermin yang ada di dinding lantai bawah kini menunjukkan hal yang sama. Sosok itu kini berdiri di dalam cermin, menatapku dengan tatapan kosong yang mengerikan.
"Malam ini milikku," suaranya berbisik, bergema di telingaku.
Aku mencoba berlari keluar rumah, namun pintu utama tak bisa dibuka. Kuncinya hilang entah ke mana. Semua jendela terkunci rapat. Aku hanya bisa meringkuk di sudut ruangan sambil menunggu pagi datang.
Sepanjang malam, aku mendengar langkah-langkah beratnya mengitari ruangan. Sosok itu terus menampakkan diri di setiap cermin, semakin mendekat setiap kali aku mengalihkan pandangan.
Ketika akhirnya pagi tiba, semuanya kembali hening. Sosok itu hilang seiring dengan terbitnya matahari. Aku segera keluar dari rumah itu, bersumpah takkan pernah kembali lagi. Namun, saat aku membuka pintu mobil, aku melihat bayangan hitam itu berdiri di kaca spion, menatapku dengan mata merahnya yang menyala.
Malam itu takkan pernah kulupakan, dan aku sadar... aku takkan pernah bisa benar-benar lepas darinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H