Mohon tunggu...
Kampret Semedi
Kampret Semedi Mohon Tunggu... -

Manusia yang baru belajar menulis, sehabis semedi, agar bisa turut sekedar berbagi , meski hanya berita basa basi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nasehat Paman

9 Juni 2016   15:58 Diperbarui: 9 Juni 2016   16:15 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(sumber gambar : Helgi Halldórsson from Reykjavík, Iceland)

Waktu kecil , Kampret adalah anak yang nakal. Kerjanya sering sekali membuat orang marah dan berteriak kesal. Tak jarang rotan mampir untuk memberikan pelajaran, agar Kampret menjadi anak yang baik, patuh pada orang tua dan tidak lagi nakal.

Aku, si Kampret kecil, sering tidak mengerti, mengapa mamak begitu marah, saat ku hajar anak tetangga yang suka usil meledek orang. Bagaimana aku bisa tinggal diam, kalau ada kawanku dibully orang. Aku diajarkan untuk menjadi pahlawan oleh Bapak, kata Bapak, tugas pahlawan adalah membela orang yang lemah dan butuh pertolongan.

Namun Mamak tak butuh pahlawan, mamak butuh anak yang tidak suka berperang, tidak suka berkelahi dengan anak tetangga. Mamak sudah bosan mendengar laporan, kalau anaknya nakal. Sudah bosan dipanggil guru sekolah dan dinasehati agar rajin mengawasi anaknya, agar tidak Nakal.

Pernah suatu kali mamak menghajarku pakai rotan penggebuk kasur. "Tar, tar , tar" kurang lebih begitu bunyinya ditelingaku. Aku diam, aku tidak mau minta ampun, tidak juga mau berteriak sakit, apalagi menangis. "Aku tidak salah, mengapa mamak memukulku," begitu kataku berulang kali. Makin aku bersuara, rotan makin gencar mampir dikakiku. "Tar, Tar, tar ".

Tadi Siang sahabatku diledek, mentang mentang jalannya plengkok, karena polio, diledek sekali dua kali, aku diam, bersabar, tapi tidak bila terus menerus , sahabatku di hina seperti itu.

Apa salahnya bila sahabatku tidak bisa berjalan normal? Kalaupun bisa, tentu dan pasti dia juga ingin bisa berlari, mengejar bola, dan bermain sepeda, sama sepertiku, sama seperti mereka.

Lalu apa hak mereka meledek dan menghina sahabatku ?

Jetar, ku tempeleng anak lancang yang berani menghina sahabatku, tidak perduli bila aku nanti harus dihukum bu guru, atau dipukuli mamakku.

"Tar tar tar "Ayo katakan, bahwa kamu tidak akan berkelahi lagi, begitu selalu bila mamak kesal. Apalagi bila ibu tetangga datang sambil membawa anaknya yang cengeng namun nakal, datang ke rumah dan berharap mamak memberikan keadilan bagi anaknya. Bah, anaknya yang mesti dihajar, kalau perlu masukan saja 1 kg cabe ke mulutnya yang ceriwis itu !!!!!! (makiku dalam hati kesal)

Aku tambah mengkal, saat melihat anak kurang ajar itu tersenyum senang, saat aku di rotan. Air mata buaya, dasar anak cengeng! Pura pura lagi kau menangis, lihat besok, akan ku hajar lagi kau bolak balik, agar kapok kau mengadu ! (tekatku kuat dalam hati).

Saat tetangga dan anak nakalnya itu pulang, mamakku menyuruhku duduk dipojokan, katanya sana duduk , dan renungkan semua kesalahanmu.  Ditinggalkannya aku, sendiri, tanpa merenung, karena aku tidak tahu apa salah dan dosaku. 

Paman yang kebetulan tinggal serumah, tiba tiba duduk disebelahku. Ditanyakannya padaku, apa sebab ku pukul anak tetangga itu. Kuceritakan lagi  kisahnya, semakin aku cerita, semakin kesal rasa hatiku pada si Anak tetangga yang bermulut comberan itu !.

Paman tertawa, dia bilang aku tepat seperti dia dulu. Preman Sekolah dan tukang bikin onar. Paman bilang dulu juga rajin mendapat rotan dari Nenek. Hahahhahaha, aku punya teman. Setelah berhenti tertawa, paman menasehatiku, bahwa pahlawan bukan semata jagoan yang tukang main hajar. Pahlawan itu baik hati namun tidak serta merta main hakim sendiri. 

"Tapi paman , dia kan kurang ajar, pantas untuk ditempeleng," tanyaku masih kukuh pada pendirianku, bahwa anak semacam itu memang pantas di tempeleng.

Paman bilang dulupun dia seperti itu, main pukul bila tidak suka, main hajar bila memang ada anak yang kurang ajar. Tapi kata paman, setelah makin dewasa, paman sadar, bahwa semakin jago seseorang, akan semakin jarang dia memakai tangan untuk menyakiti. Semakin jago karate, semakin jago silat, semakin jago ilmu bela diri, akan semakin dijaga agar tangan dan kaki dipakai bukan untuk menghajar atau berkelahi. Melindungi orang lain dikala perlu memang baik, tapi kalau bisa menghindari kekerasan itu jauh lebih baik.

Coba cari cara yang lebih baik untuk menghadapi masalah, tidak semua masalah harus langsung main gebuk, main hajar, main tonjok. Begitu nasehatnya.

Sekarang Kampret Semedi sudah dewasa, sudah tidak suka main gebuk dan hajar lagi, karena dipukul emak itu sakit .. ehhhhhhh

Pesan moralnya ????

Jangan suka meledek dan membully orang yang lebih lemah darimu, karena kalau kau sampai berani coba coba kamu akan ditempeleng oleh kampret kecil, ehhhhhhh.

(Mengenang sahabatku yang  begitu special, begitu polos,jiwa jiwa kecil itu, ingin tertawa dan bahagia bersama, ingin bercanda dan bermain sama seperti kawan kawan dan teman yang lain, gandenglah mereka, untuk bisa merasakan duniamu walau hanya sekejab saja)

Salam Semedi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun