Kebanyakan orang bersikap seperti itu karna realitas sosial dimana mereka tumbuh dan berkembang berpola pikir demikian, ini bisa dimaklumi karna dimana pun manusia lahir dan tumbuh akan belajar pertamakali pasti dengan lingkungannya baik itu alam sekitar, norma, budaya atau agamanya.
Bila perilaku Tuhan identik dengan hambanya, Ke Maha-Akbaran Sang Pencipta tak lagi tersandang, karna Tuhan telah kita ajak 'bermain' bersama dalam polah tingkah kita, yang kadang kejam, iri, cemburu bahkan naif menyikapi persoalan kehidupan.
Standar-standar ganda Tuhan pada manusia disematkan ditengah kehidupan beragama terlihat nyata,misalnya bila musibah datang bukan dari kalangannya pasti dianggap kutukan,dan bila musibah untuk kalangannya dianggap cobaan atau ujian, personalisasi Tuhan tak lagi universal bahkan menjadi simbol komunal yang tak lagi menjadi rahmat buat semesta makhluknya.
Melihat realitas yang terkonfirmasi utuh ditengah kehidupan beragama, rasanya wajar saja bila agama dengan keotoritariannya disikapi dengan otokritik demi kemulyaan agama itu sendiri,lain halnya dengan kritik ajaran agama yang dimensinya metafisika yang wajib di imani,
Karena agama mempunyai aneka ragam dimensinya. Misalnya ada dimensi moral, dimensi metafisika, dimensi nilai-nilai, psikologi sosial dan politik dan lain-lain. Nah agama dari segi dimensi moralnya, tentu memberikan sumbangan yang besar untuk publik dalam hidup bernegara.
Tapi dimensi politiknya, dengan menjadikan agama sebagai legitimasi untuk menduduki jabatan tertentu, tidakkah itu mempermiskin nilai agama itu sendiri seperti yang terjadi pada politisasi agama. Jadi pemiskinan agama muncul pada saat agama direduksi pada berbagai kepentingan termasuk ideologi. Untuk menghindari reduksi semacam itu, agama hendaknya tampil ditengah dengan segala realitas kemajemukan penduduknya.
wassalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H