Esensi dari Pencapaian nilai-nilai agama yang paling mendasar diantaranya adalah moralitas dan akhlakul karimah, tapi mengapa akhir akhir ini kita melihat spirit keagamaan umat jauh lebih baik, ukhuwah kebersamaan umat lebih solid, religiusitas ibadah lebih marak, dengan banyaknya umat berbondong-bondong menghadiri tabligh akbar dipenjuru kota maupun disudut-sudut perkampungan kaum marjinal.
Tapi anehnya, fenomena kebangkitan Ukhuwah Islam yang harusnya kita bangga sebagai umat mayoritas, sayangnya tak berbanding lurus dengan perilaku/Akhlakul Karimah umatnya, justru yang timbul rasa saling  mencurigai sesama umat itu sendiri, bahkan umpatan fitnah sesama muslim makin masif terjadi belakangan ini.Â
Apa yang salah dari realitas ini....?
Mungkin menurut saya yang fakir tentang agama islam, penanaman nilai ibadah yang diberikan motivator agama seperti Dainya lah yang paling banyak berperan  dalam kekisruhan umat dinegeri ini. Kapasitas seorang Dai untuk memberikan pencerahan nilai nilai agama perlu dipertanyakan legalitasnya.Â
Disini lah peran negara lewat otoritas agama seperti KEMENAG atau MUI wajib memberi sertifikasi formal bagi para Dai, dalam pelatihan kajian-kajian pencerahan agama yang disesuaikan dengan kondisi kultur budaya bangsa ini, agar para Dai lebih memahami nilai-nilai Agama dalam konteks Kebhinekaan.
jangan hanya karena fasih berbahasa arab dalam adab berdoa, dan tahu banyak tentang amalan kesurga sudah dianggap layak dan mumpuni berpredikat Dai.
Tugas seorang Dai bukan sekedar itu, seorang Dai walau bukan pemerhati masalah sosial, tapi setidaknya Ia harus paham realitas sosial audiensnya yang tingkat logika berpikirnya beragam. Apalagi dalam tahun politik seperti ini ceramahnya lebih dominan urusan politik ketimbang ilmu agamanya.
Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi begitu masifnya para Dai mempresentasikan persoalan  politik kekinian dinegeri ini, untuk ditarik kembali kepersoalan konflik politik umat pada kekhalifahan jaman Rasullullah SAW  berperang. Yang dipersepsikan seolah keterpurukan umat Islam dinegeri ini akibat kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada asing dan aseng (musuh Islam),  hingga membuat mereka termarjinalkan dalam berbagai aspek kehidupan terutama ekonomi. Bagi umat Islam yang pro kebijakan pemerintah distigmakan sebagai musuh dalam selimut, kufur dan dianggap sebagai murtadin.
Kajian dengan materi ceramah-ceramah seperti ini sering mewarnai khotbah Jum'at di Mesjid  sudut-sudut pemukiman penduduk yang strata sosial ekonominya juga tingkat rasio berpikirnya relatif rendah, hingga terjadi gap pemikiran atau gagal paham, yang bisa menimbulkan konflik horizontal antar sesama muslim.
Dalam situasi umat Islam seperti ini mereka lebih mudah disusupi  paham radikal anarkis hingga mengundang elit-elit politisi pecundang yang takut berkontestasi secara fair dalam percaturan politik dinegeri ini, mengambil keuntungan lalu menungganginya.
Isue-isue bombastis tak berdasar, seperti syiah, kufur, pemerintahan Thogut, begitu mudah diterima mereka sebagai suatu kebenaran, yang masif digelorakan penyebar fitnah untuk dijadikan pengobar semangat jihad umat Islam, yang pada akhirnya terjadilah pro dan kontra antar umat Islam itu sendiri hingga aroma permusuhan antar sesama begitu kental mewarnai perilaku umat.