Mohon tunggu...
Kamil Muqtafa
Kamil Muqtafa Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Tukang Pukul Hadrah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Konflik Wadas dengan Teori Konstitusi

7 Juli 2024   00:10 Diperbarui: 7 Juli 2024   00:19 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

            Konflik  agraria  yang  terjadi  di  Desa Wadas,  Kecamatan  Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, menjadi  perhatian  publik.  Penyebab terjadinya  konflik  agraria  tersebut adalah  sebagian  warga  menolak rencana aktivitas penambangan batu andesit.  Penolakan tersebut  ditandai dengan serangkaian aksi protes yang berujung  bentrokan  dengan  aparat yang  bersenjata  lengkap. Proyek pertama adalah  pengadaan  tanah  untuk kepentingan  umum  dengan tujuan pembangunan  bendungan,  dan proyek  kedua  adalah  pengadaan tanah  untuk  kepentingan  umum yaitu  penambangan batu andesit yang digunakan untuk membangun  proyek bendungan tersebut. Konflik ini menjadi  perhatian  publik sehingga  Komisi  III  DPR  RI  datang untuk  memastikan  apa  yang sebenarnya terjadi.

            Pembangunan  yang  ditolak  warga adalah  rencana  proyek  tambang andesit.  Batuan  andesit  di  Desa Wadas  akan  digunakan  untuk pembangunan  Bendungan  Bener yang  menjadi  bagian  PSN.  Alasan penolakan warga  yaitu: kawasan Wadas sebelumnya bukanlah  merupakan  wilayah pertambangan, kekhawatiran area  pertambangan  menimbulkan bencana seperti tanah longsor, menuding pemerintah melanggar aturan tata ruang yang  telah ditetapkan.  Sedangkan  tujuan pemerintah mempertahankan pembangunan  tambang  yaitu: menjadi  sarana  penunjang pembangunan  bendungan, bendungan  merupakan salah  satu program  pembangunan  prioritas, bendungan direncanakan  akan mengairi  sekitar  15.069 ha  sawah..

            Dari laman petisi "Hentikan Rencana Pertambangan Batuan Andesit di Desa Wadas" terungkap, luas lahan Desa Wadas yang akan dikeruk untuk penambangan andesit mencapai 145 hektare. Sebagian warga pun menolak rencana penambangan tersebut. Sebab, hal itu dikhawatirkan akan merusak 28 titik sumber mata air warga desa. Rusaknya sumber mata air akan berakibat pada kerusakan lahan pertanian. Lebih lanjut, warga kehilangan mata pencaharian. Penambangan itu juga dikhawatirkan akan menyebabkan Desa Wadas semakin rawan longsor.

            Proyek tambang di Desa Wadas ini merupakan tambang Quarry atau penambangan terbuka (dikeruk tanpa sisa) yang rencananya berjalan selama 30 bulan. Penambangan batu itu dilakukan dengan cara dibor, dikeruk, dan diledakkan menggunakan 5.300 ton dinamit atau 5.280.210 kilogram, hingga kedalaman 40 meter. Tambang quarry batuan andesit di Desa Wadas menargetkan 15,53 juta meter kubik material batuan andesit untuk pembangunan Bendungan Bener. Jika hal itu terjadi, bentang alam di desa tersebut akan hilang dan ekosistemnya rusak.

            Mantan gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo pun telah angkat bicara atas konflik yang terjadi di Desa Wadas. Pada Rabu (9/2/2022), ia mendatangi langsung Desa Wadas dan berdialog dengan warga. Dalam kesempatan tersebut, Ganjar juga menyampaikan permohonan maaf. Ganjar pun mengaku prihatin atas peristiwa penangkapan warga. Ia mengatakan sudah meminta kepolisian untuk membebaskan para warga itu.

            Pada Selasa (8/2/2022), terjadi insiden bentrok di Desa Wadas. Ketika 250 aparat gabungan TNI dan Polri mendatangi desa yang terletak di Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah itu. Kedatangan mereka adalah untuk mendampingi 70 petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Dinas Pertanian yang melaksanakan pengukuran tanah. Sebagian warga setuju membebaskan lahan mereka, sebagian lainnya menolak. Karena mereka khawatir penambangan batu andesit berakibat pada rusaknya sumber mata air di desa itu.

            Mendengar kejadian tersebut, Komnas HAM menerjunkan tim ke Desa Wadas guna menggali keterangan dan mencari fakta terkait insiden yang berujung pada penangkapan puluhan warga desa tersebut. “Ada yang ditendang bagian kaki, punggung, dan dipukul di bagian kepala,” ujar Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara kepada Kompas.com, Senin (14/2/2022).

            Selain kekerasan dari para aparat, komnas HAM juga menyebutkan ada beberapa warga yang belum kembali ke rumah setelah peristiwa itu. Para warga masih ketakutan karena kekerasan tersebut. Ada juga para anak-anak dan para lansia yang mengalami trauma. Kejadian tersebut juga berdampak pada hubungan para warga desa antara yang setuju dan menolak proyek tersebut.

            Merespons situasi tersebut, khususnya dugaan kekerasan, Komnas HAM melakukan pertemuan dengan jajaran Polda Jawa Tengah. Komnas HAM meminta Kapolda Jawa Tengah dan jajarannya untuk memberi sanksi kepada aparat yang terbukti melakukan kekerasan terhadap warga. Komnas HAM juga meminta pihak kepolisian tidak mudah memberikan label hoax kepada akun-akun sosial media yang memberikan reportase lapangan langsung terkait peristiwa Wadas. Kemudian, aparat juga diminta mengembalikan barang-barang dan peralatan milik warga yang masih disita. Menindaklanjuti hal itu, Kapolda Jawa Tengah Irjen Ahmad Luthfi lantas memerintahkan jajarannya untuk mengembalikan barang milik warga pada Senin (14/2/2022).

         John Locke, seorang filsuf Inggris berpendapat bahwa setiap individu memiliki hak alamiah yang tidak bisa dicabut, yaitu hak atas hidup, kebebasan, dan properti. Dalam konteks kasus ini, hak alamiah ini relevan dengan hak warga desa atas tanah mereka, yang telah mereka huni dan kelola selama bertahun-tahun. Locke percaya bahwa hak atas properti adalah salah satu hak dasar manusia yang harus dihormati oleh pemerintah dan pihak lain. Locke juga menegaskan bahwa pemerintah dibentuk melalui kontrak sosial untuk melindungi hak-hak alamiah warga negara. Dalam konteks ini, pemerintah bertugas melindungi hak properti warga Desa Wadas dan tidak boleh merampasnya tanpa persetujuan yang sah dan kompensasi yang adil. Penggunaan kekerasan dan intimidasi oleh aparat keamanan bertentangan dengan prinsip kontrak sosial ini. Pemerintah harus menghormati hak properti warga Desa Wadas. Penambangan ini seharusnya tidak dilakukan tanpa persetujuan dan kompensasi yang adil bagi warga yang tanahnya akan diambil.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun