Konflik agraria yang terjadi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, menjadi perhatian publik. Penyebab terjadinya konflik agraria tersebut adalah sebagian warga menolak rencana aktivitas penambangan batu andesit. Penolakan tersebut ditandai dengan serangkaian aksi protes yang berujung bentrokan dengan aparat yang bersenjata lengkap. Proyek pertama adalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan tujuan pembangunan bendungan, dan proyek kedua adalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum yaitu penambangan batu andesit yang digunakan untuk membangun proyek bendungan tersebut. Konflik ini menjadi perhatian publik sehingga Komisi III DPR RI datang untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.
Pembangunan yang ditolak warga adalah rencana proyek tambang andesit. Batuan andesit di Desa Wadas akan digunakan untuk pembangunan Bendungan Bener yang menjadi bagian PSN. Alasan penolakan warga yaitu: kawasan Wadas sebelumnya bukanlah merupakan wilayah pertambangan, kekhawatiran area pertambangan menimbulkan bencana seperti tanah longsor, menuding pemerintah melanggar aturan tata ruang yang telah ditetapkan. Sedangkan tujuan pemerintah mempertahankan pembangunan tambang yaitu: menjadi sarana penunjang pembangunan bendungan, bendungan merupakan salah satu program pembangunan prioritas, bendungan direncanakan akan mengairi sekitar 15.069 ha sawah..
Dari laman petisi "Hentikan Rencana Pertambangan Batuan Andesit di Desa Wadas" terungkap, luas lahan Desa Wadas yang akan dikeruk untuk penambangan andesit mencapai 145 hektare. Sebagian warga pun menolak rencana penambangan tersebut. Sebab, hal itu dikhawatirkan akan merusak 28 titik sumber mata air warga desa. Rusaknya sumber mata air akan berakibat pada kerusakan lahan pertanian. Lebih lanjut, warga kehilangan mata pencaharian. Penambangan itu juga dikhawatirkan akan menyebabkan Desa Wadas semakin rawan longsor.
Proyek tambang di Desa Wadas ini merupakan tambang Quarry atau penambangan terbuka (dikeruk tanpa sisa) yang rencananya berjalan selama 30 bulan. Penambangan batu itu dilakukan dengan cara dibor, dikeruk, dan diledakkan menggunakan 5.300 ton dinamit atau 5.280.210 kilogram, hingga kedalaman 40 meter. Tambang quarry batuan andesit di Desa Wadas menargetkan 15,53 juta meter kubik material batuan andesit untuk pembangunan Bendungan Bener. Jika hal itu terjadi, bentang alam di desa tersebut akan hilang dan ekosistemnya rusak.
Mantan gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo pun telah angkat bicara atas konflik yang terjadi di Desa Wadas. Pada Rabu (9/2/2022), ia mendatangi langsung Desa Wadas dan berdialog dengan warga. Dalam kesempatan tersebut, Ganjar juga menyampaikan permohonan maaf. Ganjar pun mengaku prihatin atas peristiwa penangkapan warga. Ia mengatakan sudah meminta kepolisian untuk membebaskan para warga itu.
Pada Selasa (8/2/2022), terjadi insiden bentrok di Desa Wadas. Ketika 250 aparat gabungan TNI dan Polri mendatangi desa yang terletak di Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah itu. Kedatangan mereka adalah untuk mendampingi 70 petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Dinas Pertanian yang melaksanakan pengukuran tanah. Sebagian warga setuju membebaskan lahan mereka, sebagian lainnya menolak. Karena mereka khawatir penambangan batu andesit berakibat pada rusaknya sumber mata air di desa itu.
Mendengar kejadian tersebut, Komnas HAM menerjunkan tim ke Desa Wadas guna menggali keterangan dan mencari fakta terkait insiden yang berujung pada penangkapan puluhan warga desa tersebut. “Ada yang ditendang bagian kaki, punggung, dan dipukul di bagian kepala,” ujar Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara kepada Kompas.com, Senin (14/2/2022).
Selain kekerasan dari para aparat, komnas HAM juga menyebutkan ada beberapa warga yang belum kembali ke rumah setelah peristiwa itu. Para warga masih ketakutan karena kekerasan tersebut. Ada juga para anak-anak dan para lansia yang mengalami trauma. Kejadian tersebut juga berdampak pada hubungan para warga desa antara yang setuju dan menolak proyek tersebut.
Merespons situasi tersebut, khususnya dugaan kekerasan, Komnas HAM melakukan pertemuan dengan jajaran Polda Jawa Tengah. Komnas HAM meminta Kapolda Jawa Tengah dan jajarannya untuk memberi sanksi kepada aparat yang terbukti melakukan kekerasan terhadap warga. Komnas HAM juga meminta pihak kepolisian tidak mudah memberikan label hoax kepada akun-akun sosial media yang memberikan reportase lapangan langsung terkait peristiwa Wadas. Kemudian, aparat juga diminta mengembalikan barang-barang dan peralatan milik warga yang masih disita. Menindaklanjuti hal itu, Kapolda Jawa Tengah Irjen Ahmad Luthfi lantas memerintahkan jajarannya untuk mengembalikan barang milik warga pada Senin (14/2/2022).
John Locke, seorang filsuf Inggris berpendapat bahwa setiap individu memiliki hak alamiah yang tidak bisa dicabut, yaitu hak atas hidup, kebebasan, dan properti. Dalam konteks kasus ini, hak alamiah ini relevan dengan hak warga desa atas tanah mereka, yang telah mereka huni dan kelola selama bertahun-tahun. Locke percaya bahwa hak atas properti adalah salah satu hak dasar manusia yang harus dihormati oleh pemerintah dan pihak lain. Locke juga menegaskan bahwa pemerintah dibentuk melalui kontrak sosial untuk melindungi hak-hak alamiah warga negara. Dalam konteks ini, pemerintah bertugas melindungi hak properti warga Desa Wadas dan tidak boleh merampasnya tanpa persetujuan yang sah dan kompensasi yang adil. Penggunaan kekerasan dan intimidasi oleh aparat keamanan bertentangan dengan prinsip kontrak sosial ini. Pemerintah harus menghormati hak properti warga Desa Wadas. Penambangan ini seharusnya tidak dilakukan tanpa persetujuan dan kompensasi yang adil bagi warga yang tanahnya akan diambil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H