Novel ini mengajak kita melihat segala hal dengan hitam putih. Tidak ada yang benar-benar baik, pun yang buruk. Profesor menghianati istrinya, namun ia sangat bertanggung jawab terhadap ayahnya. Jayanegara membantu ibunya, tapi juga melanggar aturan ibunya yang mengajarkannya agama sejak muda. Meski begitu, tidak ada pembenaran atas kesengajaan kesalahan yang dilakukan berulang-ulang oleh tokoh di novel ini.
Meski hampir semua dari novel ini tentang dampak buruk penggunaan media yang tak bijak, ada satu adegan dimana media digunakan dengan benar yang sekaligus menjadi part sebelum penutup dari novel ini. Tokoh ibu sekaligus istri profesor dengan dibantu Jayanegara menyuarakan kebiasaan buruk sang profesor tatkala akan diangkat menjadi Dekan di kampus tempatnya mengajar. Bukan dendam pribadi, si istri melihat ini sebagai sesuatu mengenai kode etik yang tidak pantas dimiliki oleh seorang akademisi. Jayanegara sendiri, memilih tinggal bersama neneknya (ibu sang profesor) di kaki gunung bersama dengan kekasihnya. Mereka memilih untuk menjauhkan diri dari arus perkembangan media, hidup tenang bersama orang yang secara nyata hadir di dekatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H