Ini tentang pengamatanku terhadap kebiasaan beragama saudara muslimku di tanah air beberapa tahun terakhir .
Awal mulanya, adzan dikumandangkan oleh Bilal Bin Rabbah salah seorang sahabat nabi yang memiliki kulit gelap dengan suara emas. Kumandang ini dimaksudkan untuk memanggil para muslim dan muslimah untuk beribadah kepada Allah yang maha esa sesuai dengan waktu sholat yang datang. Dahulu, setiap kali adzan dikumandangkan yang terjadi adalah terjedanya seluruh aktivitas kehidupan umat muslim dan mereka lantas beranjak untuk sholat, secara berjamaah. Sebuah harmoni yang cukup berkarakter dan menunjukkan bahwa urusan Tuhan adalah segalanya, bahwa panggilan-Nya adalah yang utama.
Kian kemari, rupanya makna adzan sudah mengalami perubahan. Maksud adzan juga ikut berubah seiring perjalanan hidup manusia yang dinamis. Dahulu saat saya kecil, kerapkali ketika adzan dhuhur berkumandang, saya akan dipanggil oleh keluarga saya dari perkumpulan dengan teman-teman untuk dahulu pulang. Di rumah saya acapkali mendengar kalimat "sudah dhuhur, istirahat, jangan main di luar", atau kalimat dengan makna serupa "udah dhuhur, waktunya tidur". Bukan "sudah dhuhur, waktunya sholat".
Beranjaknya waktu pun semakin membuat saya menemukan nilai serupa dalam memahami esensi adzan. Di pesantren, ketika adzan subuh berkumandang sekitar jam 04.00 dini hari semua teman-teman saya sepakat kompak untuk kembali menarik selimut, membetulkan posisi tidur. Entah siapa sebenarnya yang awal mulanya mengubah makna adzan ini. Saya sendiri hanya bisa termangu dan melihat dengan miris tentang pemahaman makna yang mulai bergeser ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H