Jejak Pelaksanaan Demokrasi dan Hak Asasi ManusiaÂ
di IndonesiaÂ
Oleh: Kamila Sofi Nurraya
Â
Â
Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan penegakan hak asasi manusia. Dua elemen penting dari demokrasi adalah supremasi hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Menyadari hal ini, saya tertarik untuk membahas topik ini, terutama mengingat salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di daerah asal saya, yaitu peristiwa Talangsari tahun 1989 di Lampung. Meskipun saya belum lahir pada saat kejadian tersebut, saya sering mendengar dan membaca tentangnya.
Keberadaan hak asasi manusia dalam konsep negara hukum dan demokrasi di Indonesia merupakan hal yang sangat mendasar. Namun, pengaturan hak asasi manusia oleh negara tidak berarti terjadinya pengekangan, melainkan pengaturan yang adil dan transparan. Dalam negara demokratis, implementasi hak asasi manusia adalah suatu keharusan. Tidak bisa dipungkiri bahwa penerapan demokrasi dan hak asasi manusia juga dipengaruhi oleh peran negara. Cita-cita yang hendak dicapai adalah implementasi demokrasi dan hak asasi manusia yang berdaulat rakyat. Namun, dalam pelaksanaannya belum semua aspek dapat diterapkan dengan baik. Masih sering terjadi tebang pilih dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum di Indonesia. Hukum terlihat sangat tajam ke bawah, yaitu terhadap rakyat kecil. Contohnya, kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara sering kali menguap dan mendapatkan vonis ringan, berbeda dengan pencuri ayam atau pencuri singkong yang mendapatkan hukuman berat, yang tentunya tidak sebanding dengan kesalahannya. Banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia terjadi di Indonesia.
Menurut Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM Abdul Haris Semendawai saat menjadi narasumber Kuliah Umum "Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat di Indonesia" di Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah, Jumat 29-9-2023, terdapat 17 kasus peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah: Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius tahun 1982-1985, Talangsari 1989, Trisakti, Semanggi I dan II, Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Wasior 2001-2002, Wamena 2003, Pembunuhan Dukun Santet 1998, Peristiwa Simpang KAA 1999, Jambu Keupok 2003, Rumah Geudong 1989-1998, Timang Gajah 2000-2003, dan Kasus Paniai 2014. Seluruh peristiwa tersebut sudah diselidiki oleh Komnas HAM.
Dari belasan peristiwa yang telah diselidiki Komnas HAM, empat peristiwa yaitu, Timor-Timur, Tanjung Priok, Abepura, dan Paniai telah memiliki keputusan pengadilan, meskipun hasilnya belum memberikan keadilan bagi para korban. Haris Semendawai menyatakan, penyelesaian pelanggaran HAM yang berat dapat dilakukan melalui dua mekanisme, yaitu yudisial dan non yudisial. Penyelesaian yudisial dilakukan dengan memproses pelakunya melalui pengadilan HAM. Sementara itu, pemerintah telah mengupayakan penyelesaian melalui mekanisme non yudisial dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 untuk mengakui terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM berat. Untuk mewujudkan penyelesaian dan pemulihan yang serius, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2023 dan Inpres Nomor 2 Tahun 2003.
Kita semua mengetahui bahwa menurut UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Komisi Nasional HAM (Komnas HAM RI) diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat. Peran Komnas HAM RI sangatlah penting dalam menjaga tegaknya nilai-nilai hak asasi manusia di Indonesia dan mengungkapkan kasus-kasus HAM yang terjadi di negeri ini. Seperti ditulis oleh Willa Wahyuni dalam Hukum Online tanggal 12 Januari 2023, Presiden Joko Widodo mengakui 12 kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang telah terjadi di Indonesia. Pernyataan tersebut diungkapkan setelah membaca laporan dari tim non yudisial Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat pada, Rabu (11/1/2023).
Presiden Joko Widodo mengaku bersimpati dan berempati terhadap korban dan keluarga korban yang ditinggalkan. Oleh sebab itu, pemerintah akan berupaya memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial. "Saya dan pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang," ujar Presiden Jokowi. Berdasarkan pernyataan serta pandangan di atas, saya berkesimpulan bahwa pemerintah dalam hal ini Komnas HAM dan Presiden RI, telah berupaya untuk menangani serta menyelesaikan kasus-kasus HAM yang terjadi di Indonesia. Meskipun tidak semua bisa dituntaskan dan penyelesaiannya belum tentu memuaskan para korban, setidaknya ada pengakuan dari negara bahwa telah terjadi pelanggaran HAM di Indonesia.
Sebagai gambaran, berikut ini saya paparkan beberapa kasus-kasus HAM di Indonesia yang diperoleh dari berbagai sumber:
Peristiwa 1965-1966
 Peristiwa 1965-1966 di Indonesia merupakan masa penuh gejolak yang ditandai dengan percobaan kudeta yang gagal oleh Gerakan 30 September (G30S) yang diduga dilakukan oleh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Kudeta ini mengakibatkan pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat dan satu perwira menengah. Kejadian ini berdampak besar pada politik Indonesia, mengarah pada penurunan kekuasaan Presiden Sukarno dan naiknya Jenderal Soeharto sebagai pemimpin baru negara. Kemudian pada tahun yang sama telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota maupun terlibat dengan PKI. Akibatnya, lebih dari 2 juta orang mengalami penangkapan sewenang-wenang, penahanan tanpa proses hukum, penyiksaan, kekerasan seksual, kerja paksa, pembunuhan, penghilangan paksa, dan lain sebagainya. Hasil penyelidikan Komnas HAM menyatakan setidaknya 32.774 orang telah hilang dan beberapa tempat diketahui menjadi lokasi pembantaian para korban.
Penembakan Misterius Tahun 1985
Penembakan Misterius (Petrus) tahun 1985 merujuk pada serangkaian pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Indonesia antara tahun 1983 dan 1985. Peristiwa ini dimulai sebagai respons terhadap meningkatnya angka kejahatan di masyarakat, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto diduga melancarkan operasi rahasia untuk menumpas para penjahat dengan metode kekerasan, termasuk penembakan tanpa proses hukum yang jelas. Korban-korban yang diduga sebagai pelaku kriminal sering ditemukan tewas dengan luka tembak, dan banyak di antaranya ditemukan dengan tanda "misterius". Penembakan ini menimbulkan ketakutan di masyarakat dan kritik dari berbagai pihak, termasuk organisasi hak asasi manusia, karena pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hukum dan keadilan.
Peristiwa Talangsari, Lampung Tahun 1989
Peristiwa Talangsari, tahun 1989 di Lampung merupakan insiden kekerasan yang terjadi pada tanggal 7 Februari 1989 di Desa Talangsari, Kecamatan Way Jepara, Lampung. Insiden ini bermula dari ketegangan antara pemerintah Indonesia dan kelompok masyarakat yang dipimpin oleh Warsidi, seorang guru agama yang dianggap memiliki pandangan Islam radikal dan menolak ideologi Pancasila. Aparat keamanan menanggapinya dengan kekerasan yang berlebihan, termasuk penggunaan senjata api. Sebanyak 27 orang dilaporkan tewas akibat pembunuhan di luar proses hukum, 5 orang diculik, 78 orang dihilangkan secara paksa, 23 orang ditangkap secara sewenang-wenang, dan 34 orang mengalami pengusiran.
4. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa Tahun 1997-1998
Penculikan aktivis 1997-1998 adalah penculikan aktivis pro demokrasi yang terjadi antara Pemilu Legislatif Indonesia 1997 dan jatuhnya Presiden Soeharto pada tahun 1998. Kasus penculikan aktivis ini dilakukan oleh tim khusus bernama Tim Mawar dan terdapat 13 aktivis yang masih hilang hingga saat ini dan 9 aktivis dilepas oleh penculiknya.
5. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
Peristiwa ini memilukan bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Toko dan rumah dijarah, dibakar, dan dihancurkan. Pelanggaran HAM berat terjadi juga pada wanita Tionghoa, mereka diperkosa, dilecehkan, dianiya, dan dibunuh. Diperkirakan 1.188 orang tewas dan 85 wanita mengalami pelecehan seksual.
6. Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2 tahun 1998 dan 1999
Aksi demostrasi besar-besaran dilakukan oleh berbagai elemen mahasiswa, termasuk Universitas Trisakti. Empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang kritis. Pihak aparat membantah telah menggunakan peluru tajam, tetapi hasil autopsi menunjukkan kematian mahasiswa tersebut disebabkan oleh peluru tajam.
Sebagai penutup dari paparan di atas, penulis memiliki beberapa catatan kritis yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Pertama, jika terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia pemerintah Indonesia melalui Komnas HAM harus merespons dengan cepat dan membuka kasus yang terjadi seluas-luasnya agar menjadi terang benderang tanpa pandang bulu. Kedua, pemerintah Indonesia harus mengapresiasi dan memberikan penghargaan kepada para korban pelanggaran HAM. Ketiga, pemerintah Indonesia memberikan pendidikan hak asasi manusia yang seluas-luasnya kepada generasi muda agar ke depan tidak lagi terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
-Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pengetahuan generasi muda Indonesia saat ini dan di masa mendatang-.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H