Kenyataannya tidak semua bank syariah memiliki unit usaha, sehingga mereka berinisiatif memutar dana nasabah pemilik modal dengan memberikan pinjaman kepada nasabah pemilik usaha. Sebenarnya kebijakan bank ini menyalahi akad (perjanjian) dengan nasabah pemilik modal, kecuali akadnya bukan mudharabah. Nasabah pemilik modal tidak bisa berbuat apa-apa kepada bank bila dia tidak menginginkan dananya digunakan untuk pembiayaan nasabah pemilik usaha.
Yang kedua murabahah (jual untung) yang pada prakteknya beberapa bank syariah menyerupai pembiayaan konvensional, sehingga sebagian masyarakat tidak sependapat dengan metode ini. Misalnya saya ingin membeli rumah perumahan sebesar Rp. 300 juta, kemudian bank menulis akad jual beli rumah, “Kami jual mobil tersebut kepada Anda dengan harga Rp. 320 juta, dengan tempo 10 tahun.” Kemudian bank menyerahkan uang Rp. 300 juta kepada saya untuk diserahkan dibayarkan kepada pengembang.
Jual beli dengan cara seperti ini dekat dengan riba, lain halnya bila bank membeli rumah dari pengembang Rp. 300 juta, lalu dijual kembali kepada saya seharga Rp. 320 juta melalui angsuran.
Yang ketiga adalah bank syariah tidak bisa mencairkan cek (cheque) dari bank luar negeri, meskipun sudah berbentuk rupiah, dan bank tersebut memiliki satu perwakilan di Indonesia. Saya mengalami sendiri kejadian ini tahun lalu.
Sebagai orang yang memiliki kerja sampingan online, saya terkadang menerima pekerjaan dari luar negeri. Kebetulan inilah pertama kali saya menerima pembayaran melalui cek. Saya pergi ke Bank A karena saya memiliki rekening di sana, customer service mengatakan bisa mencairkan cek dengan biaya Rp. 10 ribu tapi setelah berkonsultasi ke atasan diputuskan tidak bisa. Kemudian saya ke Bank B, tapi ternyata mereka sama sekali tidak bisa mencairkan cek.
Lalu saya mencoba ke bank syariah X dimana memiliki divisi konvensional dan divisi syariah. Mereka menganjurkan saya menuju ke divisi konvensional. Pada bank konvensional tersebut, saya juga tidak dapat mencairkan cek karena bukan nasabah. Meskipun menjadi nasabah pun harus sudah berumur 6 bulan dengan biaya pencairan cek sebesar USD 50.
Gagal di grup Bank X, saya coba ke bank syariah Y. Grup bank ini juga memiliki divisi konvensional dan syariah, di bank ini customer service malah menahan cek saya dan menginterogasi saya. Padahal di cek tersebut sudah tertulis jelas perusahaan pengirim. Intinya mereka tidak mau mencairkan cek.
Alhamdulillah akhirnya cek saya bisa cair di bank konvensional dalam sepekan,meskipun baru membuat rekening. Biayanya pun cukup murah hanya Rp. 20 ribu. Sungguh disayangkan bank syariah tidak bisa mencairkan cek dari bank luar negeri, sehingga memaksa saya membuka rekening baru di bank konvensional.
Yang terakhir adalah ketersediaan mesin ATM. Mesin ATM bank syariah belum sebanyak ATM bank konvensional. Ini menjadi PR bagi bank-bank syariah untuk meningkatkan pelayanan kepada nasabah. Mungkin akan menjadi terobosan baru bila antar bank syariah bekerja sama membuat “ATM Bank Syariah.” Satu ATM khusus bank syariah, dengan harapan semakin banyak mesin ATM bank-bank syariah dalam area lebih luas.
Meskipun masih ada kekurangan pada bank syariah di Indonesia, tapi saya tetapmempercayakan dana di bank syariah. Saya optimis di masa mendatang, bank syariah Indonesia berkembang pesat dan semakin mendekati 100% syariah.