[caption caption="sumber: tempo.co"][/caption]
Momen yang sangat pas ketika Bapak BJ Habibie kembali angkat bicara untuk regenerasi Ketua Umum (Ketum) Golkar sekaligus sebagai upaya menengahi kisruh internal partai. Pada Rapimnas Golkar bulan Januari lalu, Bapak Habibie untuk kesekian kalinya menegaskan bahwa estafet kepemimpinan harus digulirkan ke tangan generasi muda.
Ucapan-ucapan tegas beliau memberi pengaruh besar pada arah kontestasi Munaslub mendatang. Sejumlah tokoh senior pun mengamini pernyataan Bapak Habibie bahwa tokoh yang sepatutnya menjadi Ketum Golkar nanti adalah pada golongan usia di bawah 60 tahun.
Pesan-pesan Bapak Habibie selaku tokoh senior Golkar tersebut sangat kontekstual, sejalan dengan kondisi elektorat di Indonesia saat ini. Di mana jumlah potensi pemilih muda yang dapat mencapai angka sangat besar, yaitu hingga 40% jumlah penduduk.
Setiap tahun jumlah pemilih muda di Indonesia terus bertambah. Jumlah yang cukup besar ini memiliki level dinamika yang berbeda dengan tipe-tipe pemilih sebelumnya. Golkar sebagai partai senior paska Munas nanti haruslah dapat membenahi struktur kepartaian yang dapat berdampingan dengan kelompok pemilih muda tersebut.
Apalagi di tengah krisis kepercayaan publik pada partai politik saat ini. Pemilih-pemilih muda adalah segmen yang rentan terdampak oleh kisruh dan persoalan dari kasus-kasus yang melibatkan orang-orang partai. Sehingga pada kalangan ini tidak muncul perasaan terhubung dengan hasil positif pesta demokrasi yang kemudian membiakkan perasan tak acuh. “Memilih atau tidak, toh hasilnya sama saja.”
Terus tingginya angka golput memang merupakan salah satu efek nyata dari berjaraknya peran partai terhadap anak-anak muda tersebut. Pemilih muda cenderung melihat bahwa tokoh-tokoh politik lama tidak kunjung memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan.
Dari sudut pandang ini Golkar pertama sekali dapat meraih kembali posisinya di dalam pemilu jika berhasil menggalang kepercayaan pada segmen anak muda ini. Meraih kepercayaan kelompok pemilih pemula berarti meningkatkan elektabilitas partai sekaligus mengurangi angka golput. Ini adalah tantangan bagi Golkar untuk menghidupkan dan menyehatkan kembali setiap gelaran demokrasi yang ada.
Maka pemilihan Ketum pada Munas pun harus disesuaikan dengan tuntutan perubahan zaman. Gaya-gaya lama terbukti menimbulkan sikap apatis yang kemudian berkembang menjadi sikap apolitis pada kelompok pemilih yang sesungguhnya potensial. Sistem penyeleksian ketua nanti hendaknya responsif terhadap isu ini.
Ditambah dengan maraknya partai-partai baru yang saat ini banyak menyasar anak-anak muda. Golkar semestinya dapat menunjukkan jati diri sebagai partai senior yang lebih akseleratif dan ramah terhadap semua golongan. Bisa menjadi rumah bagi setiap golongan, terutama sekali golongan yang berkarya.
Di antaranya dengan menghadirkan tokoh muda yang handal secara politik sekaligus bermoral tinggi, tidak tercela oleh kasus-kasus hukum. Tokoh yang bersih dan memperlihatkan gaya berpolitik yang santun. Damai dan dapat merangkul semua pihak.
Pada tahapan ini peluang Golkar tampak ketika Airlangga Hartarto (AH) memantapkan diri untuk maju menjadi calon ketua umum. AH dengan latar belakangnya yang sangat lengkap dapat menjadi tokoh penghubung Golkar dengan anak muda selaku segmen pemilih.
Kredibilitas dan track record AH bisa menjadi senjata Golkar untuk memotori segmentasi pemilih pemula menjadi pemilih aktif. Profil AH yang bebas kasus dengan riwayat yang sarat pengalaman adalah alasan kuat dan meyakinkan bagi publik luas. Adalah jaminan bagi orang untuk kembali memilih.
Pada diri AH sesungguhnya Golkar sedang memperlihatkan kepada publik bahwa sistem regenerasi dalam partai berjalan dengan sangat sehat. Figur yang dipilih adalah orang yang benar-benar mumpuni dan diseleksi dengan pertimbangan yang matang, tidak sekedar mengutamakan tujuan dari pragmatisme sempit.
AH sendiri sejatinya juga proaktif bagi kelangsungan regenerasi kader-kader di bawahnya. Ia pun turut mendorong terciptanya estafet kepemimpinan yang baik sekaligus mengupayakan penghilangan sekat antara pusat dan daerah. Hal ini mencerminkan keterbukaan dan sirkulasi politik yang bersih di mana pada kemudian hari akan tercipta proses sama rata-sama rasa tanpa mengkotak-kotakkan peluang kader untuk berkembang.
Inilah langkah awal yang harus bisa diraih pada Munas nanti. Munculnya figur yang dapat diterima masyarakat dari semua kalangan. Figur yang menjadi stimulus elektorat, bahwa dunia politik masih dihuni oleh orang-orang yang memiliki profil bersih. Sekaligus yang berperan sebagai representasi dari perubahan.
Hal-hal tersebutlah pendorong tokoh-tokoh senior yang menginginkan Golkar semakin berjaya mulai angkat suara menyiratkan dukungannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H