Mohon tunggu...
Bung Yusuf
Bung Yusuf Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Organik

Saya adalah insan pembelajar yang setia terhadap prinsip Ilmu Alamiah, Amal Ilmiah

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Membedah Hasil Pemilu 2024: Legitimasi Modal Versus Legitimasi Moral

25 Februari 2024   11:39 Diperbarui: 25 Februari 2024   11:42 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Substansi demokrasi yang sesungguhnya bukan hanya sekedar siapa yang menang dan siapa yang kalah, akan tetapi bagaimana masalah-masalah publik di akui keberadaannya, masalah-masalah ketimpangan sosial, ekonomi, hukum di cari akar permasalahannya kemudian di cari rumuskan untuk penyelesaian nya.

Pemilu bukan hanya sekedar melaksanakan prosedural pemilu, tetapi melaksanakan pemilu yang bebas dan adil (free and fair election) seperti yang di kehendaki oleh konstitusi. 

Indikasi Malpraktek Pemilu:

Setidaknya terdapat tiga tipologi malpraktek pemilu:

Malapraktik pemilu adalah pelanggaran dalam proses penyelenggaraan pemilu yang bersifat kesengajaan, atau tidak sengaja, seperti lalai, ceroboh, tidak teliti, kekurangan sumber daya, atau ketidakmampuan dari pihak penyelenggara dan pelaksana pemilu. 

Hasil pemilu bukan hanya sekedar angka final yang serta merta valid dan tidak bisa di persoalkan, sebab perolehan suara yang juga bisa di hasilkan dari proses pemilu yang bermasalah.

Suatu hasil pemilu bisa di hasilkan akibat adanya malpraktek

1. Manipulasi aturan pemilu

2. Manipulasi pemilih

3. Manipulasi hasil perolehan suara

Yang sampaikan oleh Titi Anggraeni, selaku Pembina Perludem dalam diskusi yang bertema "Memaknai Hasil Pemilu 2024"

Dalam Kontruksi Indeks Kerawanan Pemilu yang di rilis oleh Bawaslu Republik Indonesia pada dimensi Penyelenggara Pemilu yang di dalamnya memuat subdimensi pemungutan dan penghitungan suara dengan bobot 16% dengan indikator adanya keterlambatan logistik pemungutan suara, adanya logistik pemilu yang kurang, serta adanya pemungutan dan penghitungan ulang, sebagai tahapan yang cukup krusial. Namun tak cukup sampai pada saat itu, tetapi ada juga jeda waktu antara waktu setelah selesai pemungutan dan penghitungan suara dengan waktu sebelum pelaksanaan Rapat Pleno di tingkat Kecamatan, jeda waktu inilah yang bisa sangat mungkin di manfaatkan oleh para peserta pemilu dan atau kontestan pemilu untuk melakukan manuver politik atau melakukan politik transaksional dengan penyelenggara pemilu dengan praktek manipulasi hasil pemilihan. 

Media sebagai alat untuk brain wash persepsi masyarakat.

Apakah hitungan quick count memiliki angka presisi yang pasti ketika memprediksi presentase perolehan suara Calon Presiden? quick count  sesunguhnya lebih tepat disebut "survei hasil pemilu".

Kenapa quick count  tidak disebut saja "survei hasil pemilu", ini bukan hanya soal keren atau tidaknya kata yang digunakan tetapi ada diskursus di dalamnya. Diskursus pembedaan penggunaan konsep tersebut bisa dijelaskan dengan melihat kepentingan politik dibaliknya.

Jika survei pra pemilu selama ini sering dipublikasikan untuk membentuk opini publik dan mengarahkan preferensi masyarakat. Maka pada fase hari pemilihan atau setelah pencoblosan, seolah harus dibuat sesuatu yang berbeda dengan survei pra pemilu, yang selama ini kerap memunculkan kritik. Sesuatu yang dianggap lebih valid dan sahih, yang sesungguhnya menggunakan metode yang sama-sama disebut sebagai survei, dilakukan lembaga yang sama pula.

Kepentingan dibalik rilis quick count sangat beragam. Ada kepentingan yang paling dominan adalah sebagai sarana bargaining position diantara kontestan pemilu. Fase waktu publikasi quick count hingga penetapan hasil oleh KPU, adalah sarana partai politik melakukan kongkalikong untuk bersiasat dan dagang sapi tanpa hiraukan suara pemilih yang baru saja memberikan hak pilihnya.

Setelah kita mencermati analisis maka makna politik elektoral yang menggambarkan situasi sosial politik hari ini ialah: 

Siapa memperoleh apa, dimana, kapan, dan bagaimana?

Siapa? Pelaku politik/kontestan

Apa?

Resource/sumberdaya (kekuasaan)

Dimana?

Ruang dan waktu

Kapan?

Bagaimana?

Sebuah cara

Ujian Legitimasi Moral

Maka sebagai sebuah bangsa yang Beradab sudah seharusnya memaknai proses Pemilu dengan berlandaskan pada legitimiasi moral bukan hanya sekedar legitimasi modal (capital) yang jikalau di biarkan akan berakibat pada bergesernga budaya politik. sehingga inilah yang merusak tatanan atau fondasi demokrasi yang telah di bangun pasca reformasi 1998 sampai dengan sekarang ini.

Legitimasi Moral adalah fondasi yang mendukung keabsahan pemerintahan dalam sistem demokrasi. Ini mencerminkan penerimaan luas dari hasil pemilihan yang dianggap adil dan transparan oleh masyarakat. Dalam konteks ini, legitimasi moral mengacu pada keyakinan rakyat bahwa para pemimpin yang terpilih memiliki otoritas moral dan politik untuk mewakili kepentingan mereka dan membuat keputusan untuk dan atas nama mereka.

Penulis:

*Bung Maulana Yusuf Amrullah

Sekretaris GMNI Pandeglang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun