Istilah santri berasal dari kata “Shastra(i)” dari Bahasa tamil yang berarti seorang ahli buku suci(hindu). Dalam dunia pesantren santri adalah murid yang biasanya tiduratau mukim di pondok pesantren. Seorang santri memiliki beberapa ciri yaitu; peduli terhadap kewajiban ainiyah, menjaga hubungan yang baik dengan al khaliq, dan yang terakhir yakni menjagahubungan yang baik dengan sesama makhluk.
Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan pengakuan kepada seluruh dunia bahwa telah lahir sebuah negara baru yang diberi nama Indonesia. Dengan di proklamirkannya kemerdekaan Indonesia bukan berarti negara ini sudah bersih dari penjajahan. NICA atau pemerintah bentukan Belanda kembali ke Indonesia dasar utamanya masih bersifat ekonomi, Belanda menganggap bahwa Indonesia tidak akan hidup jika tidak ada Belanda maka dari alasan itulah Belanda kembali untuk menguasai Indonesia. Kedatangan sekutu dan NICA kemudian mengundang bentrokan di berbagai daerah termasuk di Surabaya. Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar waktu itu juga turut khawatir dengan keadaan Indonesia, maka untuk mengatasi hal tersebut para petinggi NU segera memanggil para konsul NU untuk menentukan sikap menghadapi aksi yang dilakukan NICA yang membonceng Inggris. Pertemuan para konsul berlangsung dua hari, 21-22 Oktober 1945, di kantor PBNU di Bubutan, Surabaya. Selain dihadiri para konsul NU se-Jawa dan Madura, pertemuan juga dihadiri Panglima Hizbullah, Zainul Arifin. Rapat kemudian menghasilkan satu keputusan dalam bentuk resolusi, yang kemudian diberi nama Resolusi Jihad. Resolusi Jihad ini mewakili sikap sebagian besar bangsa Indonesia, bahwa tindakan NICA dan Inggris merupakan tindakan yang telah melanggar kedaulatan negara dan agama, maka dalam keadaan seperti ini umat Islam memiliki kewajiban untuk melakukan pembelaan. Kewajiban melakukan pembelaan ini dilakukan para ulama dan santri dengan jihad fi sabilillah.
Peran penting para ulama dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan NKRI semakin terlihat ketika perang 10 November 1945 di Surabaya, hal ini terlihat ketika Para kyai berduyun-duyun mengirimkan para santri untuk bergabung dengan Hizbullah, Sabilillah, dan badan-badan perjuangan lain. Bahkan tidak hanya datang dari kawasan Jawa Timur saja, tetapi cukup banyak kesatuan Hizbullah, laskar-laskar, dan para santri dari pesantren-pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Barat turut hadir dan memperkuat barisan pertahanan para pejuang di Surabaya.
LANTAS…. BAGAIMANA CARA SEORANG SANTRI MILENIAL UNTUK TETAP MEMPERTAHANKAN NKRI?
Berbicara mengenai santri, penulis selalu ingat pesan K.H. Mustofa Bisri bahwa santri itu adalah murid didikan kiyai yang didik dengan kasih sayang oleh kiyai agar menjadi seorang mukmin yang kuat, yang tidak goyah imannya dalam menghadapi pergaulan di zaman moderen ini, menghadapi perbedaan dan kepentingan sesama. Santri harus mempunyai jiwa hubbul waton minal iman cinta terhadap tanah air sebagai tempat tinggal dan tempat dimana mereka di lahirkan.
Santri milenial harus berjiwa toleran menghargai tradisi budayanya mengedepankan ahlakul karimah, menghormati dan takdzim kepada orang tua dan guru, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda, santri milenial juga harus cinta pada ilmu baik ilmu agama maupun ilmu umum terutama dalami ilmu agamanya sebelum menginjak pada ilmu umum. Selalu tingkatkan belajar menuntut ilmu dan menjadi santri yang selalu bersyukur. Jadilah santri yang selalu memberikan perdamaian kepada ummat sesama, memberikan pencerahan kepada masyarakat lingkunagnnya.
Dikatakan santri milenial karena mereka hidup di era milenial, hidup ditengah-tengah kemajuan, pergaulan modern dan globalisasi yang serba cepat, praktis dan terkoneksi dengan dunia internet. Perkembangan globalisasi inilah merupakan kehidupan tantangan bagi para santri milenial. Jika tantangan santri di zaman old (1945) itu adalah ikut berperang yang hanya menghadalkan kekuatan fisik, maka santri milenial harus juga bisa berjihad melawan di bidang ideologinya.
Peperangan santri milenial saat ini adalah melalui idiologi, maka dari itu santri harus perkuat ilmu pengetahuannya sebagai dasar dan bekal menghadapi perkembangan yang menimpa Indonesia ini dengan berbagai kabar kabar hoax dan menyebar luas melalui media sosial. Santri milenial harus perkuat ilmu tauhidnya sebagai landasan dan dasar menghadapi kehidupan modern, serta kembangkan dan kuasai ilmu teknologi informasi. Karena peperangan saat ini mainnya dibidang teknologi.
Santri milenial tak cukup hanya menjadi santri yang pintar dan ahli dibidang baca kitab (kitab gundul) atau ilmu ilmu lain yang sudah biasa diterapkan dipesantren sejak dulu. Santri milenial juga harus belajar dan mempersiapkan kebutuhannya dibidang ilmu yang sesuia dengan ilmu zaman now. Seperti halnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Karena IPTEK adalah tantangan terberat pesantren dan santri zaman now. Santri milenial harus mengimbanginya dengan ilmu dan kemampuan dibidang intelektualnya. Santri milenial harus mampu mengkolaborasikan antara pendidikan agama dengan pendidikan umum agar bisa bersaing di era global.
Santri milenial harus mempunyai kemampuan di bidang marketing yang ahli dalam public speaking yang baik, mampu dalam menulis atau jurnalistik. karena saat ini banyak orang awam yang ingin hijrah ikut aliran aliran yang mempunyai pemahaman radikal dengan membawa visi misi untuk mengubah dasar negara pancasila menjadi khilafah yang idiologinya murni dari islam. Semua itu karena kemampuan public speaking yang baik mengolah kata dan kemampuan literasi yang bagus, sehingga mampu memberikan simpati kepda pendengar atau pembaca litersi tersebut. Jika dari kalangan santri milenial tidak bergerak di berbagai bidang literasi dan teknologi maka dihawatirkan masyarakat atau rakyat yang awam ikut terjerumus pada ideologi radikal dan intoleran.
Santri milenial juga harus berperan sebagai santri yang nasionalis, santri yang berjiwa Hubbul Waton dalam mengabdikan identitasnya dan mempertahankan kekuatan bangsa Indonesia. Sikap nasionalisme santri yang perlu di terapkan adalah rasa kesetiaan yang dibuktikan dengan sikap atau tingkah laku santri dalam menjaga kelestarian adat dan budaya Indonesia. Santri yang intelek mereka mereka yang bisa memberikan pemikiran pemikiran yang santun, tidak terdapat unsur-unsur hoax, menerapkan nilai-nilai toleransi, nilai-nilai kemanusiaan, persatuan dan kemasyarakatan.