Mohon tunggu...
Alifrulloh Harpandega
Alifrulloh Harpandega Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kontroversi dan Pengaruh Putusan MK No 90: Dinamika Politik, Perspektif Hukum dan Kemungkinan Terbentuknya Dinasti Politik

18 Desember 2023   02:11 Diperbarui: 18 Desember 2023   02:11 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendekatan kontroversial terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU/XXl/2023 mengenai batas usia calon presiden dan wakil presiden telah mendapat tentangan yang kuat, terutama dari beberapa aktivis yang berkomitmen untuk mendukung demokrasi. Selain itu, sejumlah besar profesor hukum dan pakar hukum sangat mengecam keputusan ini, menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap perubahan yang signifikan dalam peraturan yang mengatur pemilihan presiden. Bagaimana perspektif mereka dapat memengaruhi publik dan memengaruhi politik di masa depan? 

Mari kita bahas lebih jauh. Sejauh ini, tampaknya tidak ada pelanggaran hukum acara. Meskipun demikian, kejelasan dan konsistensi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai perkara Nomor 90PUU-XXI/2023 menimbulkan kekhawatiran. Meskipun demikian, kejelasan dan konsistensi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai perkara Nomor 90PUU-XXI/2023 menimbulkan kekhawatiran. 

Putusan tersebut dikabulkan sebagian, sementara tiga putusan lain yang ditolak memiliki kontradiksi yang mencolok. Keadaan ini menyebabkan situasi yang rumit dan membingungkan, yang membuat masyarakat yang mencari kejelasan hukum merasa tidak nyaman.Dengan keputusan MK yang mengabulkan uji materiil terhadap Pasal 169 huruf q UU Pemilu, ada peluang untuk munculnya dinasti politik di Indonesia. Keputusan ini menimbulkan kekhawatiran besar dalam dunia politik Indonesia karena memungkinkan putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, untuk mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden pada Pemilu 2024. 

Salah satu konsekuensi sosial dan birokratis dari dinasti politik ini adalah bahwa mereka yang memiliki kemampuan dan keahlian dalam mengelola pemerintahan dapat menjadi tidak relevan karena kecenderungan untuk kekuasaan diwariskan secara turun-temurun. Bisa sangat merugikan, dengan kesejahteraan rakyat dapat menurun sementara kesejahteraan orang-orang dalam lingkaran terdekat mereka meningkat. Contoh fenomena ini telah terjadi dalam sejarah, seperti selama pemerintahan mantan Presiden Marcos di Filipina dan mantan Presiden Soeharto di Indonesia selama era Orde Baru.

Pola dinasti politik seperti ini sering menyebabkan ketidaksetaraan, penyalahgunaan kekuasaan, dan pemerintahan yang buruk. Pengalaman di negara lain menunjukkan bahwa ketika pemimpin dan kebijakan pemerintah berfokus pada kepentingan keluarga dan kroni, kesejahteraan masyarakat seringkali menjadi korban. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang kualitas demokrasi dan perlunya memastikan bahwa proses pemilihan dan pergantian kepemimpinan didasarkan pada prinsip demokratis yang kuat.

Dalam Putusan MK Nomor 90/PUU/XXl/2023, batas usia calon presiden dan calon wakil presiden menunjukkan adanya kejanggalan dan kontroversi yang menimbulkan polemik di masyarakat. Berbeda dengan Putusan MK No.22/PUU/XV/2017 mengenai batas usia perkawinan, yang dianggap lebih logis dan langsung terkait dengan perlindungan hak asasi perempuan, MK menetapkan batas usia perkawinan yang setara bagi laki-laki dan perempuan pada usia 19 tahun untuk melindungi perempuan dari konsekuensi negatif dari perkawinan yang dilakukan pada usia muda. Selain itu, MK memberikan batas waktu tiga tahun untuk pembuatan undang-undang untuk Selain itu, MK memberikan batas waktu tiga tahun bagi pembentuk UU untuk melakukan revisi terbatas UU Perkawinan; ini menunjukkan bahwa perlunya perubahan undang-undang dalam waktu yang tepat. Sementara itu, keputusan MK menimbulkan kekhawatiran tentang kemungkinan munculnya dinasti politik, ketidaksetaraan, dan penurunan pluralitas demokrasi karena batas usia kandidat presiden dan cawapres. Dampak negatif yang dicirikan lebih bersifat mungkin dan hipotetis, menimbulkan keraguan tentang implementasi dan peraturan yang lebih lanjut. Oleh karena itu, membandingkan kedua keputusan tersebut menunjukkan betapa rumit dan sulitnya membuat keputusan hukum, yang berdampak pada dinamika politik dan hak asasi masyarakat.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU/XXI/2023, yang mencabut batas usia calon presiden dan calon wakil presiden Indonesia, memiliki konsekuensi yang dapat menguntungkan beberapa kelompok di ruang lingkup politik. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU/XXI/2023, yang mencabut batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Indonesia, memiliki konsekuensi yang dapat dimanfaatkan oleh sejumlah kelompok yang bergerak di dunia politik. Kumpulan calon muda dan baru, yang saat ini memiliki peluang lebih besar untuk berpartisipasi dalam kontestasi politik tingkat tertinggi, mungkin mendapat manfaat. Dengan mengurangi batasan usia, lebih banyak pemimpin muda yang dapat masuk ke ranah politik dengan ide-ide baru dan energi segar.

Selain itu, partai politik yang fokus atau kepemimpinannya didominasi oleh kalangan muda dapat menghasilkan keuntungan yang signifikan. Mereka dapat mencalonkan kandidat muda dengan lebih bebas tanpa terhalang oleh batasan usia, yang meningkatkan kemungkinan mereka akan lebih menarik dan mendapatkan dukungan dari pemilih muda yang cenderung merespons positif terhadap interaksi dari pemimpin sebaya.

Keputusan yang dibuat oleh pemilih muda juga dapat menguntungkan karena memungkinkan calon-calon yang lebih sesuai dengan keinginan dan kebutuhan generasi muda. Keterlibatan politik yang lebih besar dari kalangan muda dapat menyebabkan suasana politik yang lebih dinamis dan fleksibel. Sebaliknya, partai politik yang dapat melibatkan berbagai kelompok usia dan calon dari berbagai latar belakang dapat memperluas basis dukungan mereka. Dalam lingkungan politik yang semakin inklusif, partai-partai tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan menonjolkan visi dan kebijakan yang mewakili berbagai segmen masyarakat.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU/XXI/2023, yang mencabut batas usia untuk calon presiden dan wakil presiden Indonesia, telah menimbulkan kontroversi dan perlawanan keras dari sejumlah pihak, terutama dari bagian yang paling kuat dari oposisi. Sejumlah pihak, terutama aktivis dan pakar hukum, telah menentang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU/XXI/2023, yang mencabut batas usia calon presiden dan wakil presiden Indonesia. Dinasti politik sangat dipengaruhi oleh keputusan ini, terutama karena putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, sekarang dapat mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden pada Pemilu 2024.

Banyak kritik dan kekhawatiran muncul tentang putusan MK yang tidak jelas dan kejanggalan. Putusan ini berbeda dengan putusan lain tentang usia dalam konteks hukum, yang menimbulkan kebingungan dan kekhawatiran tentang integritas pengambilan keputusan lembaga ini. Potensi terbentuknya dinasti politik menjadi perhatian besar, karena dalam sejarah beberapa negara telah terjadi ketidaksetaraan, penyalahgunaan kekuasaan, dan penurunan kualitas pemerintahan. Implikasi sosial dan birokratis dari dinasti politik ini mencakup penurunan relevansi orang yang berkompetensi dalam mengelola pemerintahan.

Putusan MK juga menguntungkan, meskipun kontroversial. Dengan keputusan ini, calon muda dan partai politik yang menekankan kepemimpinan dari kalangan muda memiliki lebih banyak kesempatan. Selain itu, pemilih yang lebih muda melihat calon yang lebih sesuai dengan keinginan generasi mereka. 

Sebuah analisis yang dilakukan oleh peneliti CSIS Indonesia menunjukkan bahwa keputusan MK memengaruhi dinamika politik dan memainkan peran penting dalam menentukan arah kebijakan negara. Namun, temuan umum menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan hukum penuh dengan masalah, keraguan, dan kesulitan, yang berdampak pada hak asasi masyarakat dan dinamika politik di Indonesia. Peneliti CSIS Indonesia melakukan analisis yang menunjukkan bahwa putusan MK membentuk kebijakan negara dan memengaruhi dinamika politik. Namun, kesimpulan umum menunjukkan bahwa kompleksitas, ketidakpastian, dan kesulitan dalam proses pengambilan keputusan hukum memengaruhi hak asasi masyarakat dan dinamika politik di Indonesia.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun