Mohon tunggu...
Cerita Pemilih

Laskar Pelangi... Eh Laskar Patek (Sebuah Cerita di Sekolah Aceh Jaya)

28 September 2016   22:06 Diperbarui: 17 Juli 2017   00:17 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini kujejakkan kakiku ke sekolah yang terletak lebih kurang 25 kilometer dari jalan besar Banda Aceh-Calang. MAS (Madrasah Aliyah Swasta) Patek nama sekolahnya. Patek merupakan sebuah nama kecamatan di Aceh Jaya ini. Padahal sekolah tersebut berada di kecamatan Darul Hikmah. Ah, aku tak mempermasalahkan hal tersebut. Yang kupermasalahkan adalah sekolah yang kutelusuri kali ini sangat memprihatinkan. 

fb-img-1500224425914-596b9e458cd0215dde575102.jpg
fb-img-1500224425914-596b9e458cd0215dde575102.jpg
Tidak terawat, itu kesan pertama yang kudapat. Rumput-rumput tumbuh menjulang tinggi, kelas-kelas terisi dengan kayu pelindung tanaman dari ternak, lantai keramik kotor, dan jalanan setapak becek tanpa adanya ojek. 

fb-img-1500224423006-596b9e044d11b74f2c233252.jpg
fb-img-1500224423006-596b9e044d11b74f2c233252.jpg
Bersama partnerku, Arif, aku tiba di tempat menuntut ilmu tersebut pukul 8 pagi ketika tak ada yang kudapat kecuali Ibu penjual lontong di depan sekolah. Belum ada murid, staf, maupun guru yang datang. Dengan dahi mengerut, kami sepakat untuk mengisi perut. Cukup lama kami bercakap-cakap dengan Ibu parah baya tersebut. Beliau berceritera bahwa kepala sekolah MAS Patek sedang sakit stroke dan harus memakai tongkat untuk berjalan. Bapak Pede panggilannya. Plesetan dari nama asli beliau, Pak Fadli. Ketika beliau sehat, Pak Fadli rajin sekali mengajak muridnya untuk pergi ke sekolah. Bahkan membangunkan mereka dari tempat tidur. Wah! Kisah yang hampir sama seperti di Laskar Pelangi, pikirku.

Sekonyong-konyong, tak lama dari kejauhan, terlihat seorang siswa laki-laki dengan rambut belahan setengah poni, bercelana abu-abu jubrai lengkap dengan kantong kargo memasuki sekolah yang tidak memiliki gerbang itu. 

Kubayar lontongku dan mengucapkan terima kasih kepada Ibu penjual lontong sudah meluangkan waktu dan tempat untuk kami bertanya-tanya dan berteduh. Kami masuk ke sekolah dan ternyata sudah hadir beberapa guru di ruangan tamu yang merangkap ruang guru. Tanpa buang-buang waktu, aku dan Arif bersilaturahmi dan mengutarakan tujuan kami ke sekolah tersebut, menyurvey prilaku kesehatan mereka. Bak gayung bersambut, dengan ramahnya, pihak sekolah mengizinkan dan mempersilahkan kami untuk melakukan pengambilan data berupa angket. Kami senang sekaligus merasa linglung. Murid yang hadir hanya 5 siswa dari kelas 1, 2, dan 3. Kami memerlukan 24 siswa untuk pendataan tingkat pendidikan sekolah menengah atas. Sudahlah, nanti kita cari tambahan responden dari sekolah setipe lainnya saja, setujuku dengan Arif.

Di tengah pelaksanaan penyurveyan, tiba lagi seorang siswa dengan kaos oblong tanpa memakai sepatu hitam putih melainkan sendal jepit. Dia meminta permisi untuk mengganti seragamnya. Sebut saja inisialnya ZF. Setelah masuk, kami mempersilahkannya kembali masuk dan mengerjakan angket yang telah kami sediakan.

fb-img-1500224429010-596b9e5b4d11b7433b769a04.jpg
fb-img-1500224429010-596b9e5b4d11b7433b769a04.jpg
Kurang lebih 90 menit mereka menyelesaikan angket. Dengan pikiran masih berawan, aku bertanya kepada ZF, "apakah sekolah ini memang sepi seperti ini?". "Tidak", katanya. "Dua tahun yang lalu, murid-murid masih ramai, tidak seperti sekarang", ujarnya. Sekedar informasi, total murid tahun ini hanya 20 siswa terdiri dari kelas 1 (2 siswa), kelas 2 (7 siswa), dan kelas 3 (11 siswa). Dan yang hadir hari ini hanya 6 siswa! Alamak!

Kulanjutkan pertanyaanku, "kira-kira kenapa berkurang peminatnya?". ZF berkilah, "semenjak 2 tahun belakangan, banyak orang tua di kecamatan tersebut menyekolahkan anak-anaknya ke SMK yang berfokus pada pertanian dan pembangunan. Yap, ketika mereka tamat dari SMK, mereka dapat bekerja langsung disesuaikan dengan lokasi kediaman mereka di perbukitan". Lanjut ZF, "lain halnya dengan MAS ini. Saat kami tamat, maka kami perlu untuk menyambung pendidikan kami ke bangku perkuliahan. Tau sendirilah, Pak. Aceh Jaya belum ada Perguruan Tinggi. Kami juga kalo ujian musti ke Meulaboh, Pak. Yaa mau gimana lagi sudah untung bisa sekolah walaupun roster pelajaran secara gonta-ganti, Pak", jawab lugunya dengan tertawa.

 Wah-wah. Hatiku trenyuh. Sebagai salah satu pelakon kecil pendidikan, aku merasa sedih, malu, dan bersyukur terhadap jawaban salah seorang murid tersebut. Sedih akan ketidakmampuanku untuk memberikan pendidikan yang lebih baik bagi mereka. Malu akan pemerintah kita yang kurang memperhatikan sekolah pedalaman seperti ini. Bersyukur akan kenikmatan pendidikan yang selama ini kutenggak. Semoga adek-adek di MAS Patek ini sukses berjaya sebagaimana nama kabupaten mereka berdiam, Aceh Jaya. Amen!

Kamarullah Gani
Darul Hikmah, Aceh Jaya, 27 September 2016

Foto diambil oleh Kamarullah Gani & M. Arif Fadhilah

Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1296716623683432&id=100000353192225

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun