"Banyak faktor yang menghambat kepemimpinan perempuan, faktor budaya, keluarga, dan lain sebagainya. Padahal perempuan memiliki potensi yang luar biasa," ujar Nevi.
Nevi menyampaikan presentase perempuan politik di Aceh untuk hari ini ditingkat kabupaten sudah mulai merata. Sementara apabila melihat presentase dari tahun 2014 sampai 2019 sedikit mengalami penurunan.
"Saya pikir perempuan harus meningkatkan kapasitas diri, sehingga dia dapat dipercaya oleh masyarakat. Karena dari hasil di lapangan sejauh ini, perempuan justru tidak memilih perempuan, padahal pemilih banyak dari perempuan," kata Nevi.
Direktur Flower Aceh, Riswati, mengatakan kepemimpinan perempuan penting didukung, untuk memastikan kehadiran suara perempuan dalam pembangunan dan pengambilan kebijakan strategis pembangunan di Aceh.
Menurutnya, kehadiran perempuan adalah untuk mendukung perkuat Demokrasi di Aceh, dan yang terpenting bertujuan untuk menjamin aspirasi, pengalaman hidup, perspektif, harapan dan manfaat perempuan masuk dalam seluruh tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evakuasi.
"Hal ini sejalan dengan prinsip SDGs/Tujuan pembangunan berkelanjutan, no one left behind, tidak ada satupun yang tertinggal," tuturnya.
Upaya memperkuat kepemimpinan dan partisipasi perempuan di politik dilakukan oleh perempuan dan harus didukung oleh semua pihak. "Perempuan harus terus memperkuat kapasitas dan skill serta jaringan sosial. Pada saat yang sama pemerintah harus hadir melalui kebijakan, anggaran dan program yang dapat mendukung peningkatan partisipasi publik dan politik perempuan. Begitupun partai politik, masyarakat, keluarga dan semua pihak harus serius memberikan dukungan nyatanya," tutup Riswati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H