Mohon tunggu...
Kamaruddin
Kamaruddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Mengingat bersama dengan cara menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Abdullah, 16 Tahun Bertahan Hidup Jadi Penambal Ban di Gubuk Reyot

11 November 2021   12:43 Diperbarui: 11 November 2021   13:48 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hanya orang-orang yang ikhlas yang dapat melihat kemuliaan dari pekerjaannya. Mereka yang tak melihat kemuliaan itu takkan pernah mencintai pekerjaannya," begitulah penggalan tulisan Andrea Hirata dalam buku 'Orang-orang Biasa' halaman 22.

Penggalan itu menggambarkan sosok Abdullah, 56 tahun, meski di usia menjelang lansia, Abdullah yang berprofesi sebagai penambal ban, masih memiliki semangat bekerja luar biasa. Baginya yang terpenting adalah rezeki yang halal tanpa mengganggu hak orang lain.

Lapak jasa tambal ban milik Abdullah berada di Jalan Pocut Baren, Lorong Aneuk Galong, Gampong Mulia, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh. Lapak itu tepatnya berada di lorong yang menjadi pemisah antara Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Jemaat Banda Aceh dan Kantor Cabang Pembantu (KCP) Bank Syariah Indonesia (BSI) Simpang Panglima Polem atau bekas KCP Bank Mandiri.

Abdullah tinggal di gubuk reyot berukuran 2 x 1,5 meter, sempit dan pengap. Satu ruangan digunakan untuk makan, tidur, salat dan menyimpan barang. Dinding dan atap gubuk itu terbuat dari seng aluminium bekas, beberapa bagian menggunakan kayu untuk perekat seng. Lantai beralaskan kayu yang disusun rapi, tanpa jendela, yang ada, hanya satu pintu sebagai akses keluar masuk.

Gubuk reyot milik Abdullah | Dokumentasi Pribadi
Gubuk reyot milik Abdullah | Dokumentasi Pribadi

Sementara kamar mandi dibuat kecil di sebelah utara gubuk, hanya muat satu orang dewasa tanpa sumur. "Kalau mau mandi harus angkut air dulu di tempat orang, yang berada di sekitar sini," ungkap Abdullah.

Hunian tak layak ini menempel di pagar tembok KCP BSI Panglima Polem. Di sebelah selatan gubuk, di bawah pohon nangka yang rindang, ada ruang kosong, yang dimanfaatkan sebagai lapak jasa tambal ban. Memberikan keteduhan dan ketenangan bagi para pelanggan saat menunggu tambal ban.  

Rabu, 10 November 2021, saat membawa sepeda motor yang bocor. Di pinggir pagar GPIB Jemaat Banda Aceh atau di depan gubuknya, Abdullah tampak sedang sibuk membereskan tumpukan kayu, mencabut satu persatu paku yang tertancap pada kayu.

Abdullah tampak sedang membereskan kayu dipinggir GPIB Banda Aceh | Dokumentasi pribadi
Abdullah tampak sedang membereskan kayu dipinggir GPIB Banda Aceh | Dokumentasi pribadi

Abdullah terlihat gagah dengan kemeja bercorak batik, warna merah muda. Raut wajahnya seketika berseri-seri, menunjukkan ekspresi bahagia, sepertinya saya pelanggan pertamanya di pagi menjelang siang itu. Dalam sekejap, ia meninggalkan kesibukannya dan menghampiri motor saya yang bocor.


Tak perlu menjelaskan panjang lebar, secara sigap, pria paruh baya itu mengambil semua peralatan, peralatan yang memiliki fungsinya masing-masing. Ember yang berisikan air misalnya, itu berfungsi untuk memeriksa sumber ban bocor. Dilakukan dengan cara, ban terlebih dahulu diisikan angin, lalu dicelupkan ke dalam air. Maka, sumber bocor nantinya akan mengeluarkan buih-buih kecil.

Kemudian, tabung kompresor angin, berfungsi untuk mengambil udara atau gas dari sekitar yang kemudian akan diberi tekanan di dalam tabung, lalu disalurkan kepada pengendara yang mengalami kempes atau bocor ban. Selain itu, alat tambal ban bakar pres, yang berfungsi untuk mengepres ban yang akan ditambal, sehingga karet merekat erat pada ban.

Abdullah sedang menambal ban motor | Dokumentasi pribadi
Abdullah sedang menambal ban motor | Dokumentasi pribadi

Peralatan itu sudah disusun rapi di samping Abdullah. Dia sangat lihai, hanya butuh waktu tiga menit untuk mengetahui sumber ban bocor. Kayu-kayu yang dirapikan tadi di pinggir pagar GPIB Jemaat Banda Aceh, rupanya dikumpulkan untuk digunakan sebagai bahan bakar. Kayu itu dipotong kecil-kecil, lalu dimasukkan ke bagian bawah alat pres.

Cara tersebut tergolong masih tradisional, dibandingkan tempat lain yang mulai menggunakan cara-cara modern. Meski demikian, Abdullah tidak mengalami kesulitan saat menyalakan api. Hanya sekali percobaan, api langsung menyala. Ban bocor tadi pun di pres dengan tekanan kuat.

Alu alang kendaraan di Jalan Pocut Baren, sesekali mampu mengalihkan pandangan saya yang sedang fokus melihat sekeliling lapak tambal ban milik Abdullah. Saya menunggu di kursi santai napolly, di bawah pohon nangka yang sudah mulai berbuah.

Abdullah memang bukan tipikal orang yang suka duduk, meski usianya sudah tidak muda lagi. Sembari menunggu ban yang sedang ditambal, ia kembali membereskan kayu yang tadi belum selesai.

Tidak lama berselang, dua pria berboncengan berhenti di depan lapak tambal ban. Mereka berhenti untuk mengisi angin pada ban motor yang kempes. "Isi angin satu ban Rp1 ribu aja, kalau dua ban Rp2 ribu. Sedangkan untuk tambal ban Rp15 ribu," kata Abdullah.

Abdullah mengisi angin motor pelanggan | Dokumentasi pribadi
Abdullah mengisi angin motor pelanggan | Dokumentasi pribadi

Sepuluh menit dibuat menunggu, karet yang ditambal pada ban sudah melekat dengan baik. Kemudian dipasang kembali ke roda dan siap untuk dikendarai lagi.

Kepada Kompasiana, Abdullah, mengatakan sudah 16 tahun berprofesi sebagai tukang tambal ban dan tinggal di gubuk reyot itu. Penghasilannya sehari-hari sebagai tukang tambal bal pun tidak menentu. Bahkan pernah dalam sehari, lapak yang dibukanya mulai pukul 09.00 WIB - 22.00 WIB itu, tidak ada orang sama sekali, baik yang menambal ban maupun sekedar mengisi angin.

"Sehari biasa ada 3 sampai 5 orang yang menambal ban. Penghasilan perhari kisaran Rp50-70 ribu. Tapi itu tidak menentu, kadang ada hari ini, tidak ada hari esok," cerita Abdullah.

Abdullah hijrah ke Banda Aceh usai Tsunami Aceh tahun 2004. Ekonomi yang sulit membuatnya terpaksa meninggalkan istri dan delapan orang anak di kampung. Saat ini, kata Abdullah, kedelapan anaknya bersama istri masih tinggal di kampungnya, di Sigli.

"Keluarga masih ada, delapan orang anak. Saya biasa sebulan sekali pulang kampung," ungkap Abdullah dengan tatapan kosong, seakan sedang merindukan keluarganya.

Abdullah tak berharap yang muluk-muluk, cukup mensyukuri apa yang telah diberikan Allah. Meski memiliki penghasilan tak menentu, setidaknya masih diberikan rezeki yang halal oleh-Nya. "Makan tetap sehari tiga kali, kadang kalau lagi gak ada pelanggan harus irit-irit, untuk jaga-jaga," tutup Abdullah.

Matahari mulai gagah menyinari, pertanda siang, kesibukan mulai mengucur tak terkendali, pegawai bank BSI sekitar sudah rapi, bersiap beristirahat selama satu jam. Siswa-siswi SD, SMP dan SMA Methodist Banda Aceh berbondong-bondong berlari, menerobos jalan, guna mendapatkan es campur Afuk spesial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun