"2006 silam, Rumah Adat Aceh (Rumoh Adat Aceh) itu diangkut dari Garot dan Beureunun, Kabupaten Pidie ke Banda Aceh, menggunakan dua unit mobil truck jenis hercules. Struktur bangunan bisa dibongkar pasang tanpa menggunakan paku. Usia kayu berkisar 120 tahun. Untuk itu, saat proses pemindahan, ada beberapa kerusakan terjadi. Meski sudah berusia satu abad lewat, tidak ada renovasi yang berarti, hanya beberapa kayu di lantai dan dinding samping yang diganti," jelas Owner Le Rasa Cafe, Zakiah Hasan Bashry, 52 tahun.
Bersama sang suami, Joni Maryanto, 53 tahun. Zakiah berhasil menyulap rumah adat Aceh itu menjadi kedai kopi bernuansa vintage yang dilabeli dengan nama, Le Rasa Cafe, di Jalan Tandi III No. 27, Ateuk Munjeng, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh. Le Rasa Cafe, mencuak dengan sensasi berbeda, diantara ribuan cafe lainnya di Ibukota Provinsi.
Begitu memasuki pagar kayu minimalis, Le Rasa Cafe tampak gagah, menghadap kearah barat. Kokoh ditopang 24 tiang penyangga yang terbuat dari kayu balok padat, berukuran 20-35 cm. Konstruksi bangunan rumah adat Aceh berbentuk panggung, memiliki serambi depan, serambi tengah, dan serambi belakang.
Ada ruang kosong di bawahnya, dengan jarak tanah dengan lantai kurang lebih mencapai 2,5 meter. Bila Anda berjalan di bawahnya, tidak perlu menunduk, baik orang dewasa asia maupun eropa, mereka bebas melintas. Konon katanya, Rumah Adat Aceh sengaja dibuat berbentuk panggung, hal itu untuk meminimalisir risiko gangguan alam, seperti bencana banjir atau serangan binatang buas.
Di lantai bawah rumah adat Aceh itulah disusun rapi meja dan kursi untuk pelanggan. Ada sekitar 10 meja lengkap dengan kursi. Berbeda-beda, ada meja yang sengaja didesain untuk pelanggan yang datang bersama keluarga. Serta pelanggan bersama pasangan. Anda bebas memilih.
Disisi Selatan, Anda akan melihat meja kasir, tangga dan dapur. Sedikit dibelakang dapur, ada tempat wudhu. Kemudian, disisi timur, terdapat rumah induk yang dijadikan meeting room dengan kapasitas 12 sampai 14 orang. Ruangan ini sudah dilengkapi dengan AC dan lighting yang memadai. Disampingnya ada juga tempat bermain anak.
Selain di lantai bawah, Le Rasa juga menyiapkan lantai atas untuk bersantai, sambil menikmati menu andalan, mie saus spesial Le Rasa dan secangkir teh poci set. Untuk naik keatas, sudah disediakan tangga, tepat di belakang kasir dan di depan dapur. Secara harfiah, jumlah anak tangga pada rumah adat Aceh berjumlah ganjil. Di rumah adat Aceh Le Rasa Cafe sendiri terdapat tujuh anak tangga.
Setelah berhasil menaklukkan ketujuh anak tangga, pintu rumah adat Aceh yang didesain sedikit lebih rendah berada sebelah kiri dengan ketinggian sebatas berdiri orang dewasa. Di bagian langit-langit, ada balok yang melintang, membuat setiap orang yang masuk terlebih dahulu harus menundukkan kepala.
Bagian sisi atas rumah ini berbentuk segitiga. Atap rumah mengerucut sehingga tampak lancip ke atas. Atapnya disebut dengan bubong. Bagian yang menyatukan bubong kiri dan kanan dinamakan perabung. Di bagian serambi depan sebelah kanan, Anda akan melihat mesin jahit kuno yang dipajang, dibagian kiri ada mushalla mini.
Empat langkah kedepan, sedikit naik, tiba di serambi tengah, sudah disusun empat meja lesehan. Kemudian di serambi belakang ada empat meja. Total ada empat meja di lantai atas Le Rasa. Bila melongok keluar, sebelah selatan dan utara, ditanam pohon kayu yang besar dan rindang, menutupi pandangan, membuat ruangan diatas terasa adem, ditambah dua kipas angin plafon gantung.
Tidak hanya itu, lantai rumah adat Aceh terbuat dari papan yang tidak dipaku atau hanya disematkan begitu saja, supaya suatu waktu papan bilah bisa dilepas dengan mudah. Kedai kopi yang dikemas dalam tampilan biophilic itu, baru berusia sembilan bulan. Tepat Februari 2021, Le Rasa Cafe secara resmi dibuka.
Saat itu, pagebluk Covid-19 masih menghantui, satu persatu bisnis dipaksa harus lempar handuk karena keadaan yang semakin sukit. Tapi tidak dengan Zakiah, instingnya sangat kuat, bermodalkan keberanian, ia menggelontorkan Rp300 juta lebih untuk biaya renovasi interior dan eksterior, hingga pernak pernik bangunan.
Zakiah, Jumat, 5 November 2021, kepada Kompasiana, mengatakan alasan dirinya buka bisnis kedai kopi meski badai pandemi belum berakhir. Keberanian itu muncul, pertama karena lokasi rumah adat Aceh itu milik keluarga, sehingga tidak pusing memikirkan biaya sewa, hanya biaya renovasi.
"Saya bukan orang bisnis, tidak pernah berkecimpung di bisnis. Tapi saya hobi memasak. Kita menggunakan konsep gini, supaya tidak mainstream seperti bisnis serupa lainnya. Makanya kita poles dengan cara kita sendiri dan menawarkan konsep natural," ujar Zakiah ditemani suaminya Joni.
Nasib baik menghampiri bisnis pasangan yang menetap di Gampong Doy, Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh itu. Penjualannya berjalan lancar, meski di tengah gempuran pandemi Covid-19. "Alhamdulillah pandemi tidak mempengaruhi bisnis cafe dan kuliner kami. Kami pun juga bermodalkan bismillah. Ternyata seiring berjalan, tanggapan orang-orang yang datang alhamdulillah. Beberapa orang juga repeat order. Padahal kami masih baru," ungkap Zakiah.
Zakiah tidak menggunakan strategi promosi khusus dalam bisnisnya. Beruntung, saat Grand Opening, banyak dari keluarganya yang membantu promosi lewat postingan di akun media sosial. Hal itu terus berlanjut, hingga orang mengetahuinya secara mulut ke mulut. Seperti halnya penulis, mengetahui Le Rasa Cafe dari rekomendasi teman. "Jika keadaan sudah normal, kita bakal melakukan promosi besar besaran," tegas Ibu dua anak itu.
Seiring waktu berjalan, kata Zakiah, ia akan terus mengupgrade bisnisnya, sesuai pengalaman dan permasalahan yang dihadapi nantinya. Le Rasa Cafe sendiri dibuka dari Senin - Minggu.
Sementara itu, Zakiah mengaku, Rumah Adat Aceh itu, pernah dipinjamkan untuk tempat tinggal Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh, Kuntoro Mangkusubroto, selama dua tahun (2006-2008).
Hayatul Fitria, 28 tahun, salah seorang pelanggan disana, mengaku terkesima melihat nuansa baru yang ditawarkan Le Rasa Cafe. Meski baru pertama kali, ia cukup terkesan dan akan merekomensasikan untuk sanak saudaranya. "Ini berbeda dari kebanyakan kedai kopi lain di Aceh yang menawarkan suasana indoor. Outdoor seperti ini lebih memanjakan mata," ujar Hayatul.
Rebahkanlah tubuh
Di tempat tinggi tak berpenghuni
Lupakan sejenak masalah duniamu
Lembut sang awan 'kan menyambutmu
Bermimpi ku berada
Di tempat indah yang tak terjamah
Hanya ada aku dan teman-temanku
Mimpi-mimpi tak seperti mimpi
Bahagia, bahagiaku cukup sederhana
Tak terhingga, sekalipun harta dan tahta
Tak sanggup membayarnya
Begitulah bunyi penggalan lirik lagu Fourtwnty yang berjudul puisi alam, yang menggambarkan nuansa vintage di Le Rasa Cafe sore itu. Sayup-sayup matahari mulai  menghilang di bawah garis cakrawala di sebelah barat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H