Senin, 30 Maret 2020, Ibu hendak berobat ke Rumah Sakit Zainal Abidin (RSUZA) Banda Aceh. Sekira pukul 07.00 WIB saya sudah berada di rumah sakit untuk mengambil nomor antrian. Meski sudah berusaha datang cepat, tetap saja dapat nomor antrian diatas angka 10.
Sudah sejak saya masih duduk di sekolah dasar atau sudah lebih satu dekade Ibu menderita sakit gigi, berbagai metode pengobatan sudah diupayakan, namun belum ada hasil.
Dengan pipi yang membengkak, Ibu bersama kakak tampak berjalan menuju ruang tunggu. Tidak lama menunggu, nomor antrian 15 pun mendapat giliran. Saya mendampingi Ibu masuk ke ruangan dokter gigi, kakak menunggu diluar. Dokter menyilakan kami duduk di kursi minimalis, tepat didepan mejanya. Â Air mineral gelas, kertas dokumen, ATK dan alat pembantu kerjanya sebagai dokter gigi sudah disusun rapi di meja kerjanya.
"Ibu mengalami tumor gusi atau epulis, atau tumor jinak yang tumbuh pada jaringan lunak gusi (gingiva). Ini harus segera dioperasi, kalau bersedia dioperasi silahkan tanda tangan," ujar dokter gigi itu setelah melakukan pemeriksaan.
Tanpa mendengar arahan lain dari dokter, Ibu beranjak meninggalkan ruangan itu, saya mengikuti, tapi kehilangan jejak Ibu. Lalu, saya menemui kakak yang sedang menunggu di ruang tunggu.
"Mamak mana?," tanya Kakak yang heran melihat saya sendiri.
"Mamak mengalami tumor gusi, dokter menawarkan agar dioperasi, tapi setelah mendengar itu, mamak langsung keluar ruangan," jawab saya menjelaskan.
Ibu memang sangat takut dengan yang namanya operasi. Maklum, selama hidupnya, Ibu belum pernah sekalipun dioperasi.
Setelah satu jam keliling mencari Ibu, akhirnya kami bertemu di tempat parkir, Ibu tampak murung dan gelisah. Kami mengarahkan Ibu untuk menenangkan hati dan pikiran di kantin rumah sakit.
"Mamak gak mau dioperasi, gak apa-apa, biar saja sakit seumur hidup, asal jangan dioperasi," imbuh Ibu menjawab alasan meninggalkan ruangan dokter.