Mohon tunggu...
kama not sutra
kama not sutra Mohon Tunggu... Editor - namaste

Suami dari seorang istri dan ayah dari seorang putra. Senang membaca akhir-akhir ini masuk dunia radio, sudah terlambat sebenarnya tetapi ya hitung-hitung memotivasi anak muda. Menyukai jalan-jalan dan penikmat alam. Lebih senang kalau apa yang dilakukan bermanfaat bagi banyak orang. Sekarang belajar menulis. Kalau ada masukan atau komentar sepedas apapun pasti saya terima. tetapi jangan dibully saya orangnya tegar. Siapa tau dibully malah jadi lemes.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar dengan Gadget Anak Didampingi

2 Oktober 2020   00:24 Diperbarui: 2 Oktober 2020   00:24 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ayah... hari ini tidak seperti biasanya. Aku keluar masuk zoom hampir 10 kali. Sudah gitu internet sering sekali disconect."

"Ayah... bagaimana caranya agar signal tidak muncul tenggelam saat kita gunakan zoom di laptop?"

"Hari ini membosankan zoomnya tidak menarik."

Itulah litani keluhan seorang anak kelas 4 SD yang ditinggal sendirian dirumah karena pandemi ini. Kami suami istri harus bekerja tidak lagi dari rumah tetapi harus dikantor. Bekerja untuk mendidik anak orang mendapatkan haknya memperoleh pendidikan.

Setiap hari jam 7 harus sudah berada dikantor memberikan pelajaran dalam jaringan. Pulang sekolah belum sempat istirahat harus mendengarkan keluhan anak yang baru belajar bermain dengan telepon pintar karena sebelumnya saya termaasuk konservatif mendidik anak tanpa gadget. 

Tetapi apa lacur pandemi datang dengan cepat. Konservatif saya kubuang jauh. 3 bulan awal masih bisa nebeng gadget. Kami masih diwajibkan kerja dari rumah dan anak belajar dari rumah. 

Kami bisa saling bertukar mengerjakan tugas-tugas dari guru lewat gdget ini. Setelah harus kerja di kantor kami terpaksa harus menyisihkan gaji untuk beli gadget. 

Iya karena kami memang hanya memiliki 2 gadget yang kami suami istri pakai untuk kebutuhan kerja dan komunikasi. Sedangkan anak semata wayang tak pernah terpikirkan untuk dibelikan gadget. 

Memasuki tahun ajaran baru semuanya berubah. Ikat pinggang harus lebih kenceng diikat, kebutuhan belajar anak jelas bertambah berlipat. Beruntunglah. Saat bersyukur maka rejeki itu datang. 

Seorang suster menghadiahi anak saya sebuah gadget bukan keluaran terbaru tetapi pastinya sangat bersyukur bisa mengatasi kesulitan anak dalam belajar. Dan gadget inilah yang menjadi media belajar. Beruntung pula atau memang sudah handycap bahwa anak generasi ini mudah untuk belajar. 

Tentu tidak sampai disitu proses belajarnya. Tidak seperti gadget keluaran terbaru mode anak tentu sudah bisa di atur sedemikian rupa. Gadget yang ini belum bisa menyaring informasi baik atau buruk. 

Sehingga dengan mudah masuk dan menjadi bahan pertanyaan. Tugas siapa? Bukan guru. Tapi orang tua. Ya orang tua harus siap menjawab aneka tanya yang keluar dari mulutnya. 

Persoalan tidak habis disitu, paketan  data, untuk zoom dari jam 07.40 pagi hingga pukul 12.00 siang bukan perkara muda. Anak sudah mulai punya komunitas bermain virtual yang rasanya tidak adil bagi kita sebagai orang tua melarang mereka bermain sedangkan perjumpaan dengan komunitas sosial dibatasi. Pekerjaan tambahan sebagai orang tua adalah memberi tahu mana yang baik dan berguna serta mana yang kurang baik dan tidak perlu.

Tiga bulan berlalu belajar mandiri seorang anak menyesuaikan diri dengan perubahan, memanfaatkan teknologi untuk belajar dan memilah mana yang baik dan buruk sudah cukup bagi kami sebagai orang tua. 

Pemanfaatan tekhnologi memang mesti terus dikembangkan. Kita mau tidak mau memang harus hidu berdampingan dengan kemajuan tekhnologi dan pada akhirnya harus menguasainya atau dengan kata lain memanfaatkan tekhnologi untuk kebaikan bersama atau dalam istilah orang pintar "Learn to Live Together setelah melewati pilar-pilar sebelumnya yakni Learn to Know, Learn to Do dan Learn to Be. 

Saya sendiri memiliki cita-cita anak saya bisa mulai belajar bermain coding sederhana. Ingin rasanya memasukan dia ke kelas coding virtual tetapi disisi lain saya juga harus menjamin kehidupan sosialnya, psikisnya dan masa kecilnya dinikmati secara natural dan tentu uangnya. 

Maka penggunaan gadget menjadi sangat bermanfaat dan menjadi baik jika didampingi dengan pola pendampingan yang baik. Tidak menggunakan gadget sama sekali menurut saya tidak akan mungkin. Karena cepat atau lambat kita pasti akan menggunakannya kecuali menjadi pertapa. 

Yang menjadi persoalan terbesar sebenarnya kesediaan infrastruktur yang belum merata. Bahwa sekarang ada paket internet pendidikan ini pantas diapresiasi. Tetapi layanan infrastruktur sudah menjangkau semua lapisan masyarakat? Jawabannya tentu tidak. 

Kami yang tinggal diperkotaan masih dihadapi masalah blank spot dimana signal sulit dijangkau apalagi mereka yang di desa yang jauh dari kemajuan tekhnologi. 

Semoga pemerintah memikirkan bagaimana caranya agar pemerataan pendidikan dengan dizaman 4,0 bisa sama dinikmati baik oleh yang dikota maupun di desa. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun